Sumber gambar : google.com
Jarum jam menunjukan pukul dua
siang, terduduk dua orang perempuan saling berhadapan hanya terpisah dua buah
meja bersisian yang disandingkan menjadi satu. Dua gelas berukran besar berisi
es teh manis mulai mengembun, bagian bawahnya membasahi meja kaca yang
memisahkan mereka, tepatnya di sebelah kanan. Tatapan kedua perempuan itu
sama-sama kosong, nampaknya mereka hanya duduk bersama saling berhadapan saja
tanpa bicara. Entah apa yang ada di pikiran dua perempuan yang terlihat seperti
berusia dua puluh tahunan itu. Dua manik mata dari kedua perempuan itu mulai
bergerak, tanda mereka tersadar, rupanya kedatangan dua lelaki yang langsung terduduk
di dua kursi kosong yang berada di samping masing-masing kedua perempuan itulah
yang mengusiknya.
“Sudah dapat kabar dari ibu?” tanya
si lelaki berkemeja hijau yang duduk di samping kiri si perempuan berkerudung
merah. Nada suaranya terdengar sangat khawatir. Peluh mengucur dari dahinya.
Kedua perempuan itu menggeleng
lemah, raut wajahnya nampak bingung bercampur rasa bersalah.
“Kemana ibu pergi? Apakah sudah kamu cari
sampai ke rumah tante Laila, Nis?” Kini giliran si lelaki berkaus biru tua
dengan kerah abu-abu yang bertanya.
“Sudah Bang, saya sudah cari
kesana, tapi ibu tidak ada, tante Laila sendiri tidak tahu ibu di mana.” Perempuan yang
dipanggil Nis itu terdengar putus asa, manik matanya mulai berkaca-kaca, dan
jatuhlah bulir-bulir hangat di pipinya yang ranum, kemudian disekanya dengan
kerudung ungunya.
Dua perempuan dan dua lelaki itu
kemudian terdiam semua, dengan raut wajah yang serupa, bingung.
“Ini semua salah Ambar, kalau saja
Ambar tak bilang ingin ke Maroko, ibu pasti tak akan menghilang seperti ini!” tandas perempuan
berkerudung merah tiba-tiba, ada getir dalam suaranya.
“Iya, Kak As memang benar ini semua
salahku” jawab
lelaki berkemeja hijau tertunduk lemah.
“Bukan, ini bukan salah Ambar, ini
salahnya Nis. Kalau saja Nis bisa bersabar untuk menemani ibu, dan mengambil
cuti lebih panjang, mungkin ibu tak akan pergi tanpa kabar begini. Nis terlalu
serakah menginginkan promosi kenaikan jabatan di kantor.” sesalnya.
“Kalau begitu aku juga salah, jika
saja aku menerima lamaran Sutejo dan bukannya melarikan diri bekerja keluar
kota, maka aku bisa mengurusi ibu di sini.” Isak tangis mulai terdengar dari si
perempuan berkerudung merah, diiringi tatapan sedih dari lelaki berkemeja hijau
yang sesaat disalahkan olehnya.
“Tidak! tak satu pun dari kalian
yang bersalah. Ini semua karena kelalaian Bang Syam sebagai kakak tertua. Abang
telah gagal menunaikan kewajiban sebagai anak tertua. Maafkan Abang.” Lelaki
berkaus biru tua dan berkerah abu-abu itu terdengar tulus mengucapkan itu
semua.
Mereka semua terdiam lagi, larut
dalam penyesalan sendiri-sendiri, hingga buliran air mata membasahi
pipi-pipinya. Untung saja kondisi kedai teh tempat mereka berkumpul saat ini
dalam keadaan sepi, jika tidak mungkin mereka akan menjadi bahan tontonan
pengunjung yang lain.
“Aku ini anak macam apa? Bercita-cita mendapat
gelar Lc, tapi malah membuat ibunya sendiri melarikan diri.” Lelaki dengan
kemeja hijau mulai memegangi kepanya dengan kedua belah tangan.
“Bukan salahmu Ambar, maafkan Kak
As karena menyalahkanmu, padahal ini salahku yang tak mau menikah.”
“Bukan salahmu yang tak mau menikah
As, lagipula pernikahan yang dipaksakan akan membuatmu sengsara, Nis yang salah
terlalu mengejar karir. Tak berkaca pada pengalaman, pernikahan Nis pun kandas
salah satunya karena hal yang sama. Bodohnya aku ini!”
“Berhentilah menyalahkan diri kalian
sendiri. Salahkan Abang saja, sudah tua begini masih saja betah melajang, dan
sibuk bekerja, melarutkan diri dari rasa patah hati dikhianati si Nuri.
Meninggalkan ibu yang menjadi kewajiban diri, harusnya sekarang ibu sudah
senang sambil menimang cucu.” Sesal lelaki bernama Syam itu bertambah dalam.
Mereka terdiam lagi, kembali
menyesali diri, bahkan suara isakan terdengar menjadi-jadi.
“Apa hal ini?” sebuah suara
menghentikan sesal dan isak mereka. Semua mata langsung tertuju pada suara itu.
“Ibu!” Seru mereka bersamaan.
Perempuan tua yang mereka panggil
ibu dengan serentak itu berdiri sambil menenteng sebuah tas kain berukuran
sedang dengan motif bunga lili berwarna kuning terang. Perempuan bernama As
dan Nis lalu segera bangkit dan memeluk ibu mereka yang telah lanjut usia. Baju
kurung berwarna hijau tosca dipadu kerudung segi empat berwarna putih dengan
hiasan bunga-bunga kecil yang menyebar, kini kusut akibat pelukan kedua anak
perempuannya.
“Sudah…sudah…” Sang Ibu melepaskan
pelukannya, lelaki dengan kemeja hijau segera bangkit dan membantu ibunya duduk
di kursi miliknya.
“Bu, Ambar tak akan berangkat ke
Maroko, Ambar di sini saja bersama Ibu.” Sambil memegang kedua tangan ibunya
yang keriput.
“As juga Bu, As akan keluar kerja
dan menerima kembali lamaran Sutejo dan tinggal bersama Ibu.” Matanya
menyiratkan keyakinan.
“Nis, akan ambil cuti lebih banyak
agar bisa menemani Ibu lebih lama lagi.”
“Bu, Syam akan menuruti semua
permintaan Ibu, apa saja, Syam berjanji
Bu.” Suara Syam terdengar tanpa keragu-raguan.
Sang ibu terdiam melihat keempat
anaknya dengan tatapan penuh kasih. Dua anak lelaki dan dua anak perempuannya
sudah dewasa, selama ini dirinya masih saja menganggap keempat anaknya itu masihlah
anak-anak berusia empat, enam, sepuluh, dan empat belas tahun. Rupa-rupanya
waktu berlalu begitu cepatnya.
Sesaat sang ibu pun tersenyum
sambil menghela napas panjang. Pertama-tama diarahkannya pandangan kepada putra
bungsunya.
“Ambar, mengapa kau mengurungkan
niatmu pergi ke Maroko?” tanya Ibu dengan nada santai.
“Ambar mau mengajar saja di
pesantren dekat rumah sambil menjaga ibu.” Jawab Ambar menatap ibunya tanpa
tersirat keraguan sedikit pun.
“Hmmm, mengapa pula harus kau
urungkan niatmu itu, padahal Ibu berharap kau dapatkan gelar Lc itu, macam
ustaz-ustaz yang orang-orang muda cakap viral
itu di social media. Siapa tahu
nanti kau pun ikut viral, amalan
jariyahmu banyak, bahagialah akhirat ibumu ini nanti. Sudah tak perlu bingung
dan gundah lagi, kau berangkatlah ke Maroko, Ibu merestuimu. Janganlah
membantah. Tak maukah kau, akhirat Ibumu ini bahagia?”
Ambar hanya bisa berkaca-kaca dan
mengangguk, lalu diciumnya dua tangan ibunya dengan takzim sembari berjongkok,
sang ibu membelai kepalanya dengan lembut lalu menyuruhnya kembali berdiri disampingnya. Ketiga anaknya yang
lain tersenyum turut bahagia, hingga pandangan sang ibu mengarah pada perempuan
dengan kerudung merah.
“As, tak perlu lagi kau sebut
bahkan kau ingat nama Sutejo lagi. Beruntung waktu lalu kau melarikan diri saat
dia datang melamar, kalau tidak, Ibu akan menyesal seumur hidup telah
menikahkanmu pada lelaki yang sudah punya istri empat masih saja mengaku
bujangan. Sungguh celaka kalau
kau jadi menikah dengannya. Kini jalani saja pekerjaanmu dengan baik di kota
itu, nikmati saja dulu. Kalau kau dapat gaji, belikan Ibu baju kurung yang
bagus macam artis ibu kota, sesekali Ibu mau menggoda Mak Silau kalau ada yang
bisa lebih silau bajunya dari dia, hahahaha.”
Raut wajah ibu nampak lucu dan bahagia, suara tawanya terdengar renyah dan
menggelikan.
Semua anaknya bersyukur dan turut tertawa
geli, membayangkan As saudaranya akan jadi istri kelima, As pun hanya bisa
bergidig lalu tersenyum lega.
“Nah, kau Nis, kejarlah promosi
tahun ini, agar tahun depan kau bisa mempromosikan diri sebagai calon istri
bukan calon direktur lagi. Lebih jeli dalam memilih suami, jangan kau jadikan
orang pengangguran sebagai imam dalam rumah tangga. Jangan hanya mengandalkan
cinta buta. Jika kau ingin pernikahanmu tak gagal lagi carilah imam yang
sholeh, yang mengerti kewajibannya, bukan yang hanya mau menumpang hidup
padamu, dan kau menyanggupinya saja karena kau anggap mampu. Sekecil apapun
penghasilannya tapi ada keringat yang ia keluarkan untuk memenuhi kewajibannya.
Ibu tahu bagaimana kau ini Nis, kau mampu menghasilkan uang dengan baik, tapi
mantan suamimu dulu memanfaatkan itu dan malah menikammu dari belakang, bermain
judi. Tapi tak perlu jera juga untuk menikah lagi, kau masih muda dan cantik,
mapan pula, berbudi pekerti baik, insyaAllah,
masih ada lelaki baik macam almarhum bapak kalian. Tak perlu risaukan Ibu, bila
kau naik jabatan dengan cara yang jujur, Ibu pula yang bangga.” Tutur ibu pada
Nis panjang lebar
Nis tersenyum dengan linangan air
mata, pancaran rasa syukur tercermin nyata dalam raut wajahnya.
“Terima kasih Bu, Nis akan
patuhi nasehat Ibu, Nis akan berusaha sebaik mungkin.”
Pernyataan Nis diacungi dua jempol
oleh ibu sambil tersenyum bangga. Saudara-saudaranya yang lain pun turut
mengacungkan jempol mereka pertanda mendukung nasehat ibu.
“Tibalah giliran kau Syam!” , nada
suara ibu berubah menjadi tegas tak sesantai pada adik-adik Syam sebelumnya.
Suasana yang tadinya santai dan cair berubah menjadi tegang. Semua pandangan
tertuju pada Syam. Ia hanya menatap ibu sebentar dengan canggung lalu memilih
menunduk sambil mengkaitkan jari jemarinya.
“Syam, sudah sepuluh tahun berlalu.
Ibu membiarkanmu untuk mengobati luka hatimu, karena ibu tahu persis bagaimana
rasanya dikhianati, apalagi cinta ini kau bilang cinta pertama, kau sudah cinta
mati padanya, kau suka padanya sejak remaja tapi apa daya kalau bukan jodoh,
tak bersua juga kau dengannya di pelaminan. Tapi kau ini lelaki, belajarlah
kuat dari Ibumu ini, ibu tiga kali gagal menikah dengan alasan yang beragam.
Dari mulai dipisah maut saat akan akad, dikhianati seminggu sebelum pernikahan,
hingga ditipu sebulan sebelum pinangan. Tapi, semua kejadian itu tak membuat
Ibu patah arang, kalau patah arang, tak akan Ibu jumpa dengan bapak kalian, tak
akan ada pula kalian sekarang ini, jadi….” Ibu menggantung kalimatnya.
“Jadi…?” Syam menantikan kelanjutan
kalimat ibu.
“Jadi sesuai janjimu tadi kau akan
penuhi apapun yang Ibu minta, maka minggu depan kita akan datang ke pondok putri
milik Kyai Mahmoed Sabar, beliau sedang cari menantu untuk putri bungsunya yang
terkenal baik budi pekertinya, siapa tahu kau beruntung dan berjodoh dengannya,
Kyai Mahmoed Sabar itu salah satu kawan karib dari kawan karib bapak semasa di
pesantren dulu. Jadi kali ini tak ada alasan lagi untuk… apa namanya kalau kata
anak jaman sekarang? Gulau?”
“Galau Bu.” Ucap As.
“Nah Galau itu, buang jauh-jauh
dari pikiranmu, seminggu dari sekarang kita akan pergi melamar, siap Syam?”
tanya Ibu sambil memandang Syam dengan tegas.
Syam yang sedari tadi menunduk
mulai menengadahkan wajahnya, dipandangi wajah ibu yang tegas menuntut jawab.
“Syam akan pegang janji Syam Bu,
minggu depan kita berangkat melamar.”
Jawab Syam sambil tersenyum.
“Alhamdulillah! Terbayang sudah
sekarang Ibu menimang cucu!” seru ibu disusul tawa ketiga saudara Syam. Mereka
tergelak bahagia, perasaan lega menghambur dari dada-dada mereka.
“Bu, sebenarnya Ibu pergi kemana
sejak kemarin? tak mengabari kami pun tante Laila, takut dan khawatir benar
kami ini.” Tanya Syam setelah semua tawa reda.
“Ibu ini pergi menengok teman lama
di kota sebelah, teman minum kopi dulu.”
“Jadi ibu minum kopi lagi?” selidik
Nis.
“Tenang saja Ibu tak minum kopi
manis, tapi kopi pahit.” Jawab ibu sambil terkekeh. Semua anaknya
menggelengkan kepala.
“Jangan lagi-lagi ya Bu. Kopi kan
tak baik untuk kesehatan Ibu, ingat larangan dokter.” Pinta Ambar. Ibu hanya mengangguk
dengan raut wajah yang jenaka, membuat ke-empat anaknya kembali tersenyum geli.
“Ayo kita pulang, ashar sudah
berlalu satu jam, supir tante Laila sudah matang nunggu di parkiran!” seru ibu
sambil beranjak berdiri dibantu Syam. Mereka semua berlalu meninggalkan meja dan
kursi itu yang kini hanya ditemani dua gelas besar es teh manis yang sudah
tidak ada es di dalamnya.
Selesai.
Oleh : Bunda Nabhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar