Fajar Diselimut Mimpi - One Day One Post

Breaking

Kamis, 08 November 2018

Fajar Diselimut Mimpi



Oleh : Adriana
Suara ayam bersahutan. Bersamaan dengan kepakan sayap, suara-suara itu semakin lantang dipekikkan. Seperti hafal betul sebentar lagi cahaya keemasan memancar dari ufuk timur, pagi bersiap datang. Maka, dengan gegap gempita, berlomba-lombalah makhluk unggas itu mengganggu nikmat tidur tuan-tuannya.
"Yadi, bangun! Sebentar lagi azan," teriak ibu dari ruang dapur. Tangannya lincah menggosok piring. wadah terbuat dari kaca itu berdenting kala diletakkanbersusundengan piring dan perabot dapur lainnya yang sudah dibalur sabun. Satu-dua buih-buih busa pecah dimainkan angin. Tempat di mana ibu mencuci piring memang tidak beratap dan berdinding. Letaknya tepat berada di belakang rumah, berhadapan dengan dapur tetangga.
Ibu... Itu ibu? Ya Tuhan, bukankah itu ibu? Dari kejauhan, ada sosok yang tampak lusuh sedang memperhatikan wanita tua yang tengah sibuk di pagi buta. Batinnya menerka-nerka sembari tidak percaya, bagaimana bisa kali ini melihat wanita tua itu? Dan dia mengenalnya.
Di dalam rumah, seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang diteriaki dari dapur tadi sedang menggeliat pelan. Matanya masih mengantuk, tapi suara wanita tua itu sempurna menghempas kenikmatan tidurnya. Bersamaan dengan koor unggas-unggas di samping rumah, tepat di bawah jendela kamar.
Hei...! pemuda itu... Sejurus kemudian, sosok tadi sudah berada di sudut kamar. Ruangan di mana nama pemuda yang dipanggil wanita tua tadi sedang menikmati sisa lelap. Bercampur heran, ia merasa tubuhnya seakan tembus pandang dan mampu dalam sekejap berpindah tempat. Namun ia juga yakin bahwa hadirnya nyata dengan wujud sebagaimana manusia biasa.
"Fajariyadi...!!" kembali wanita tua itu berteriak. Tapi kali ini tidak dengan maksud untuk membangunkan anak laki-lakinya. Teriakannya seakan-akan latah memanggil nama anaknya. Jeritnya serampang mengandung takut yang muram, bentuk dari panik yang luar biasa mencekam.
"Allahuakbar Allahuakbar... Suara azan terdengar sayup-sayup. Merdu. Disusul suara gemuruh yang terdengar dari kejauhan. Bagai sekumpulan kuda dipacu berlari dengan kencang, tapak-tapaknya terasa kuat menggetarkan bumi.
"Allahuakbar..."  kalimat azan berikutnya masih berkumandang, dan kemudian menghilang.
Azan subuh kala itu berubah menjadi teriakan demi teriakan. Suara-suara memenuhi udara pagi yang masih sangat belia. Latah ibu memanggil anaknya, hentakan berdebam menyentak sadar mereka yang masih lelap, lengkingan suara panik penduduk sekitar dan aroma ketakutan lainnya tenggelam, beradu, berpadu lantas bersatu dengan suara azan subuh yang tidak akan pernah selesai.
"Kalla idzaa dukkatil ardhu dakkan dakkaa..[1]" suara ayat melantun begitu saja. Tidak jelas dari mana asalnya. Seperti narasi yang mengiringi kejadian yang tengah berlangsung, porak-poranda
Ada apa ini..., ada apa? sosok tadi seakan mengambang. Turut panik sekaligus heran dan khawatir dengan apa yang melintas di matanya. Seperti itu, kah? Itukah yang terjadi? Sadarnya kemudian. Mulai memahami alur kejadian yang dibawa waktu untuknya.
"Wajaa a robbuka wal malaku shoffan shoffaa..[2]" lagi, ayat-ayat melantun tepat merayap di telinga. Dia tidak merasa asing dengan kata-kata sekaligus makna yang terkandung di dalamnya, bahkan hampir yakin itu adalah suaranya sendiri.
"Fayaumaidzillaa yu'adzdzibu 'adzaabahuu ahad..[3]" sosok tadi serta merta bergetar. Seakan-akan ketakutan perlahan namun pasti merayap dan melawan arus aliran darahnya.
Subuh itu, disaksikannya rombongan malaikat memungut jiwa-jiwa dari puluhan tubuh yang bergelimpangan dengan ujung-ujung jari. Mereka yang beriman, yang tidak beriman, yang masih terlelap atau yang sudah bangun lantas bersiap menyambut fajar. Baik laki-laki, perempuan, tua maupun muda. Sudah saatnya kembali pada Tuhan.
Satu sentilan kecil dari kehendak Tuhan pagi itu, mampu menghancurkan tanggul besar yang tidak jauh dari kediaman penduduk pinggiran kota. Daerah yang tidak pernah sepi dari semaraknya hiburan malam. Tempat di mana sebagian besar penduduknya menggadai iman, alpa pada tujuan akhir perjalanan hidup dan pedihnya hari pembalasan.
***
Kamar petak berukuran kecil itu tampak gelap, udaranya pengap. Bau yang keluar dari kaleng-kaleng cat, tumpukan pakaian dan piring kotor bercampur jadi satu. Sinar matahari tidak mampu menembus ruang di dalamnya, sempurna tertutup begitu rapat. Bahkan aliran udara setia berputar-putar pada tempat yang sama.
"Fajar... Fajar, bangun!" seorang wanita paruh baya memanggil nama penghuni kamar pengap. Tangannya mengepal kuat, berkali-kali menggedor pintu kamar yang posisinya tepat berada di ujung lorong. Dia berusaha membangunkan penghuni kamar kost tersebut. Nihil, hasilnya tetap sama. Sudah dua bulan ini penyewa kamar itu menunggak pembayaran.
Sekian menit berlalu. Pintu kamar di belakang punggung wanita paruh baya itu terbuka. Tentu saja penghuninya merasa terganggu dengan suara wanita dan gedoran pintu yang cukup berisik.
"Ibu mencari Fajar?" sapanya sedikit basa-basi, dengan wajah masih setengah mengantuk. Tampak sengaja dipasang sedemikian rupa agar terlihat betapa terganggunya dia dengan ulah wanita pemilik kamar kost .
"Eh..., Nak Hadmei. Maaf ya, ibu berisik pagi-pagi begini. Iya nih, Fajar sudah berapa kali didatangi tapi tidak pernah kelihatan batang hidungnya," jawab wanita paru baya itu dengan ramah pada pemuda di hadapannya. Perasaan tidak nyaman seketika menyelinap di dada. Wanita paruh baya itu baru menyadari bahwa apa yang dilakukannya barusan mengusik penghuni kamar yang lain. Terlebih kepada pemuda bernama Hadmei. Jika saja diadakan kontes penyewa kamar teladan, maka dia akan memilih Hadmei yang paling berhak mendapatkan gelar tersebut. Pemuda itu adalah penghuni paling disiplin membayarkan uang sewa kamar setiap bulannya.
"Sepertinya, dua hari ini Fajar tidak ada di tempat, bu. Begini saja, nanti kalau dia datang, akan saya sampaikan bahwa ibu mencarinya," tawar pemuda itu sembari menguap untuk yang kesekian kali. Membuat wanita paruh baya di depannya semakin merasa bersalah.
"Baiklah, terimakasih banyak ya, Nak. Sekali lagi ibu minta maaf karena sudah mengganggu," ucapnya kemudian.
Hadmei tersenyum puas setelah punggung wanita paruh baya itu menghilang di balik tembok.
***
"Ingat dan cam-kan kata-kata saya! Jika sampah itu tidak ditemukan di dalam pondok, maka kita akan lihat dan temukan dia di luar sana."  suara seorang Ustad menggema di ruang aula, merayap pada dinding-dinding pondok, sekaligus menusuk hati siapa saja yang mendengarnya. Meski marah dengan para santri yang tertangkap basah melakukan pelanggaran, tidak membuat dirinya terpancing melakukan tindakan pendisiplinan dalam bentuk fisik. Meski demikian, kata-katanya sudah cukup menyakiti dan menggetarkan hati para santri yang terperangkap dalam jiwa-jiwa kerdil namun nekat membangkang.
Tidak..!! Aku bukan sampah.., bukan sampah...!!
"Tidaaak...!!"
Tubuh kurus dan ringkih itu menghantam lantai, serta merta menimbulkan suara gaduh. Bulir-bulir keringat membasahi hampir seluruh tubuh, bajunya basah. Dengan nafas terengah-engah dan payah, pemuda itu bangkit dari lantai, lantas kembali merebahkan tubuh di ranjang.
Sudah tiga hari ini suhu tubuhnya tinggi. Tulang-tulang terasa sakit seperti akan lepas dari posisi. Mimpi-mimpi yang sama masih terus menghantui, membuat kerongkongannya terasa kering dan tenggorokannya sakit. Teriakan ibu, bumi yang bergetar, lantunan ayat-ayat yang ia yakin pernah dihafal sebelumnya, juga kata-kata seorang ustad pengurus pondok, bergema, berputar dan berulang kali masuk mengusik tidur.
Perlahan-lahan pemuda itu bangun. Dengan tenaga yang lemah, ia berusaha meraih tempat air minum di atas meja. Satu-dua kali kakinya tersandung oleh bingkai-bingkai lukisan dan kaleng-kaleng cat. Benda-benda itu terhampar begitu saja di lantai kamar. Berantakan. Selama tiga tahun ini, benda-benda itu sudah akrab menemani hidupnya yang terasa gelap.
"Fajar..., Fajar...! ini Hadmei, kamu ada di dalam?" panggil Hadmei sambil mengetuk pintu kamar Fajar berkali-kali. Ia tadi sempat mendengar suara berisik kaleng yang berjatuhan dari dalam kamar Fajar, tepat di seberang kamarnya.
Mendengar suara tetangganya, Fajar segera membuka pintu. Ia tidak peduli dengan udara pengap kamar yang nanti akan mengusik kenyamanan siapa saja yang bertandang.
"Hadmei, silahkan masuk!" Matanya mengerjap beberapa kali, Fajar kesulitan memandang keluar. Telalu terang karena sinar matahari leluasa masuk lewat jendela.
"Tadi Ibu kost datang, kamu baik-baik saja, kan?" tanya Hadmei sedikit heran melihat Fajar yang tampak lebih kurus dari sebelumnya.
"Tidak apa-apa. Baik, kok."
"Kamu yakin?" Hadmei tidak yakin tetangganya ini baik-baik saja. Wajah Fajar terlihat pucat. Hampir setahun dia mengenal Fajar yang berprofesi sebagai pelukis. Pola hidup pemuda itu bertolak belakang dengan dirinya yang bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta. Di saat semua orang mulai terlelap, Fajar justru baru akan memulai hidupnya. Di saat pagi akan tiba, Fajar justru tenggelam dalam tidur dan mimpi-mimpinya yang kesiangan. Namanya Fajar, tapi pemuda itu justru tidak pernah menikmati udara segar di waktu fajar. Ironis sekali, pikirnya.
Hadmei pamit setelah yakin tetangganya baik-baik saja. Tidak lupa ia juga menyampaikan pesan ibu kost dan menawarkan bantuan jika pemuda itu membutuhkan sesuatu. Fajar tentu merasa tersentuh dengan kepedulian tetangganya. Ia hanya bisa mengucapkan terima kasih dan tersenyum sinis ketika mendengar nama ibu pemilik kamar sewa mencarinya berkali-kali. Kewajibannya membayar uang sewa kamar memang sudah dua bulan ini menunggak. Jadi pantas saja jika wanita paruh baya itu menyempatkan diri untuk datang.  
***
Kanvas putih sudah rapi dipasang sejak Hadmei meninggalkan kamar tiga puluh menit yang lalu. Fajar enggan memejamkan mata untuk kembali tidur, padahal kondisinya lemah dengan suhu tubuh yang juga masih panas. Demamnya memasuki hari kesekian, dan ia tidak peduli dengan waktu-waktu yang telah lewat, juga mimpi-mimpi yang terus datang bersamaan dengan lantunan ayat-ayat suci yang berseliweran. Menggema dalam batok kepalanya.
Sial! umpat Fajar melempar kuas sembarang. Sejak tadi, ia tidak mampu menuangkan imajinasi pada bidang putih di hadapannya.

Hari-hari sebelumnya pun demikian. Fajar kesulitan menggores kanvas dengan kuas. Kepalanya terus mengingat mimpi yang sama dan selalu berulang. Jalan cerita yang melompat-lompat dan tidak jelas. Mulai dari wanita tua yang membangunkannya subuh itu, dan ia yakin itu adalah ibunya. Nasehat yang menusuk hati dari seorang ustad, dan ayat-ayat yang terdengar tidak berurutan.
Waktu terus berjalan. Matahari sempurna memadamkan cahayanya. Sisa senja tampak lebih sendu dari hari-hari biasa. Mendung menyelimuti Fajar, membelah kedua pipinya dengan aliran hangat. Airmata yang diketahuinya nanti akan menjadi saksi di hadapan Tuhan. Setelah memungut kembali kuas di lantai, ia putuskan untuk sejenak berdiam diri. Dengan mata yang terus menatap kanvas, Fajar kembali mengenang masa lalu.
Wajah polos dengan langkah gamang memasuki gerbang pondok. Tahun pertama yang bergelimang prestasi. Kemudian perlahan-lahan semangat menuntut ilmu meredup tergerus rasa bosan sebab kadung mabuk pergaulan di luar pondok. Sampai pada proses penangkapan besar-besaran terhadap santri yang berkeliaran di malam hari. Kesalahan yang berulang berakhir pada keputusan pemulangan. Ibu yang sedih sebab merasa gagal mendidik. Lingkungan yang minim agama. Pandangan sebelah mata yang tertuju padanya dari lingkungan, hingga musibah pecahnya tanggul menjadi gerbang di mana dia memutuskan untuk membenci takdir. Ibu menjadi korban, sedangkan Fajar kehilangan diri.
Yadi, bangun! Sebentar lagi azan.
Allahuakbar Allahuakbar
Fajaryadi...!!
Allahuakbar
Ingat dan camkan kata-kata saya! Jika sampah itu tidak ditemukan di dalam pondok, maka kita akan lihat dan temukan dia di luar sana.
Wajaa a robbuka wal malaku shoffan shoffaa
Fajariyadi...!!
IbuIbu…” panggilnya dalam suara yang semakin serak.
Tidak tidak, bukan! Aku bukan sampah! rengeknya mengiba lantas amarahnya meletup.
Fayaumaidzillaa yu'adzdzibu 'adzaabahuu ahad.
IbuIbu…” nafas Fajar menderu-deru. Lompotan-lompatan mimpi dan kenangan masa lalu silih berganti mengiris hatinya lebih dalam.
Wal Fajr[4]
Yadi, bangun, nak! Sebentar lagi azan.
Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah[5]
Ir jiii, irjiii ilaa... rabbikiraadiyatammardiyyah, fadkhuli fii ibadii, wad khuliijannatii,[6] igaunya terbata-bata kala tertidur di saat mengenang masa lalu. Fajar menyelesaikan ayat-ayat yang dulu pernah singgah di hati.
Masih dengan kuas di tangan, Fajar bersandar di kursi, dan tetap menghadap kanvas. Tubuhnya basah oleh keringat dan airmata yang menyelinap di dalam mimpi, namun jelas nyata akan kesedihan dan kerinduan. Ia tahu bahwa takdir Tuhan tidak pernah salah, justru dirinyalah yang salah karena meninggalkan Tuhan sejak lama.
Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar
Fajar membuka mata, Ya Allah, suaranya tertindih azan yang berkumandang dikejauhan. Di hadapannya, warna langit biru yang gelap tanpa bintang menjadi tirai penyambut sinar surya yang belum lagi tiba, memayungi sederet undakan tanah lapang berumput dalam siluet. Keseluruhannya tampak indah dikemas dalam goresan kuas pada kanvas. Lukisannya selesai.
Inikah waktu fajar? Batinnya bertanya. Dan di luar sana, fajar telah hadir dengan udara yang menenangkan rongga dada.
Asyhadu allailahailallah Asyhadu allailahailallah
Selesai



[1] Sekali-kali tidak! Apabila bumi digoncangkan berturut-turut. (QS. Al-Fajr:21)
[2] Dan datanglah Tuhanmu; dan malaikat berbaris-baris. (QS.Al-Fajr: 22)
[3] Maka pada hari itu, tidak ada seorangpun yang mengazab seperti azab-Nya. (QS. Al-Fajr: 25)
[4] Demi fajar (QS.Al-Fajr: 1)
[5] Hai jiwa yang tenang (QS.Al-Fajr:27)
[6] Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masukklah kedalam jamaah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam syurga-Ku. (QS. Al-Fajr: 28-30)





Biodata Penulis:
Rina Adriana, lahir di Pontianak tanggal 13 September. Penikmat sastra dan pembelajar otodidak.

1 komentar:

Pages