Oleh : Adriana
Suara
ayam bersahutan. Bersamaan dengan kepakan sayap,
suara-suara itu semakin lantang dipekikkan. Seperti hafal betul sebentar lagi
cahaya keemasan memancar dari ufuk timur, pagi bersiap datang. Maka, dengan
gegap gempita, berlomba-lombalah makhluk unggas itu mengganggu nikmat tidur
tuan-tuannya.
"Yadi…,
bangun! Sebentar lagi azan," teriak ibu dari ruang dapur. Tangannya lincah
menggosok piring. wadah terbuat dari kaca itu berdenting
kala diletakkan—bersusun—dengan
piring dan perabot dapur lainnya yang sudah dibalur sabun. Satu-dua buih-buih
busa pecah dimainkan angin. Tempat di mana ibu mencuci piring memang
tidak beratap dan berdinding. Letaknya tepat berada di
belakang rumah, berhadapan dengan dapur tetangga.
“Ibu... Itu ibu? Ya Tuhan…, bukankah itu ibu?“ Dari
kejauhan, ada sosok yang tampak lusuh sedang memperhatikan wanita tua yang tengah
sibuk di pagi buta. Batinnya menerka-nerka sembari tidak percaya,
bagaimana bisa kali ini melihat wanita tua itu? Dan dia mengenalnya.
Di
dalam rumah, seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang diteriaki dari dapur tadi
sedang menggeliat pelan. Matanya masih mengantuk, tapi suara wanita tua itu sempurna
menghempas kenikmatan tidurnya. Bersamaan dengan koor unggas-unggas di samping
rumah, tepat di bawah jendela kamar.
“Hei...! pemuda itu...“ Sejurus
kemudian, sosok tadi sudah berada
di sudut kamar. Ruangan di mana nama pemuda yang dipanggil wanita tua tadi
sedang menikmati sisa lelap. Bercampur heran, ia merasa tubuhnya seakan tembus
pandang dan mampu dalam sekejap berpindah tempat. Namun ia juga yakin bahwa
hadirnya nyata dengan wujud sebagaimana manusia biasa.
"Fajariyadi...!!"
kembali wanita tua itu berteriak. Tapi kali ini tidak dengan maksud untuk
membangunkan anak laki-lakinya. Teriakannya
seakan-akan latah memanggil nama anaknya. Jeritnya serampang mengandung takut
yang muram, bentuk dari panik yang luar biasa mencekam.
"Allahuakbar… Allahuakbar...” Suara azan terdengar
sayup-sayup. Merdu. Disusul suara gemuruh yang terdengar dari kejauhan. Bagai
sekumpulan kuda dipacu berlari dengan kencang, tapak-tapaknya terasa kuat menggetarkan
bumi.
"Allahuakbar..." kalimat azan
berikutnya masih berkumandang, dan kemudian menghilang.
Azan
subuh kala itu berubah
menjadi teriakan demi teriakan. Suara-suara memenuhi
udara pagi yang masih sangat belia. Latah ibu memanggil anaknya, hentakan
berdebam menyentak sadar mereka yang masih lelap, lengkingan suara panik penduduk
sekitar dan aroma ketakutan lainnya tenggelam, beradu, berpadu lantas bersatu
dengan suara azan subuh yang tidak akan pernah selesai.
"Kalla idzaa
dukkatil ardhu dakkan dakkaa..[1]" suara
ayat melantun begitu saja. Tidak jelas dari mana asalnya. Seperti narasi yang
mengiringi kejadian yang tengah berlangsung, porak-poranda
“Ada apa ini..., ada apa?” sosok tadi seakan
mengambang. Turut panik sekaligus heran dan khawatir dengan apa yang melintas
di matanya. “Seperti
itu, kah? Itukah yang terjadi?”
Sadarnya kemudian. Mulai memahami alur kejadian yang
dibawa waktu untuknya.
"Wajaa a robbuka wal
malaku shoffan shoffaa..[2]" lagi,
ayat-ayat melantun tepat merayap di telinga. Dia tidak merasa asing dengan
kata-kata sekaligus makna yang terkandung di dalamnya, bahkan hampir yakin itu
adalah suaranya sendiri.
"Fayaumaidzillaa
yu'adzdzibu 'adzaabahuu ahad..[3]" sosok
tadi serta merta bergetar. Seakan-akan ketakutan perlahan namun pasti merayap
dan melawan arus aliran darahnya.
Subuh
itu, disaksikannya rombongan malaikat memungut jiwa-jiwa dari puluhan tubuh
yang bergelimpangan dengan ujung-ujung jari. Mereka yang beriman, yang tidak
beriman, yang masih terlelap atau yang sudah bangun lantas bersiap menyambut
fajar. Baik laki-laki, perempuan, tua maupun muda. Sudah saatnya kembali pada
Tuhan.
Satu
sentilan kecil dari kehendak Tuhan pagi itu, mampu menghancurkan tanggul besar
yang tidak jauh dari kediaman penduduk pinggiran kota. Daerah yang tidak pernah
sepi dari semaraknya hiburan malam. Tempat di mana sebagian besar penduduknya
menggadai iman, alpa pada tujuan akhir perjalanan hidup dan pedihnya hari
pembalasan.
***
Kamar
petak berukuran kecil itu tampak gelap, udaranya pengap. Bau yang keluar dari
kaleng-kaleng cat, tumpukan pakaian dan piring kotor bercampur jadi satu. Sinar
matahari tidak mampu menembus ruang di dalamnya, sempurna tertutup begitu rapat.
Bahkan aliran udara setia berputar-putar pada tempat yang sama.
"Fajar...
Fajar, bangun!" seorang wanita paruh baya memanggil nama penghuni kamar
pengap. Tangannya mengepal kuat, berkali-kali menggedor pintu kamar yang posisinya
tepat berada di ujung lorong. Dia berusaha membangunkan penghuni kamar kost tersebut.
Nihil, hasilnya tetap sama. Sudah dua bulan ini penyewa kamar itu menunggak
pembayaran.
Sekian
menit berlalu. Pintu kamar di belakang punggung wanita paruh baya itu terbuka. Tentu
saja penghuninya merasa terganggu dengan suara wanita dan gedoran pintu yang
cukup berisik.
"Ibu
mencari Fajar?" sapanya sedikit basa-basi, dengan wajah masih setengah
mengantuk. Tampak sengaja dipasang sedemikian rupa agar terlihat betapa terganggunya
dia dengan ulah wanita pemilik kamar kost .
"Eh...,
Nak Hadmei. Maaf ya, ibu berisik pagi-pagi begini. Iya nih, Fajar sudah berapa
kali didatangi tapi tidak pernah kelihatan batang hidungnya," jawab wanita
paru baya itu dengan ramah pada pemuda di hadapannya. Perasaan tidak nyaman seketika
menyelinap di dada. Wanita paruh baya itu baru menyadari bahwa apa yang
dilakukannya barusan mengusik penghuni kamar yang lain. Terlebih kepada pemuda
bernama Hadmei. Jika saja diadakan kontes penyewa kamar teladan, maka dia akan
memilih Hadmei yang paling berhak mendapatkan gelar tersebut. Pemuda itu adalah
penghuni paling disiplin membayarkan uang sewa kamar setiap bulannya.
"Sepertinya…,
dua hari ini Fajar tidak ada di tempat, bu. Begini saja, nanti kalau dia
datang, akan saya sampaikan bahwa ibu mencarinya," tawar pemuda itu
sembari menguap untuk yang kesekian kali. Membuat wanita paruh baya di depannya
semakin merasa bersalah.
"Baiklah,
terimakasih banyak ya, Nak. Sekali lagi ibu minta maaf karena sudah mengganggu,"
ucapnya kemudian.
Hadmei
tersenyum puas setelah punggung wanita paruh baya itu menghilang di balik
tembok.
***
"Ingat dan cam-kan
kata-kata saya! Jika sampah itu tidak ditemukan di dalam pondok, maka kita akan
lihat dan temukan dia di luar sana."
suara seorang Ustad menggema
di ruang aula, merayap pada
dinding-dinding pondok, sekaligus menusuk hati siapa saja yang mendengarnya.
Meski marah dengan para santri yang tertangkap basah melakukan pelanggaran,
tidak membuat dirinya terpancing melakukan tindakan pendisiplinan dalam bentuk
fisik. Meski demikian, kata-katanya sudah cukup menyakiti dan menggetarkan hati
para santri yang terperangkap dalam jiwa-jiwa kerdil namun nekat membangkang.
Tidak..!! Aku bukan
sampah.., bukan sampah...!!
"Tidaaak...!!"
Tubuh
kurus dan ringkih itu menghantam lantai, serta merta menimbulkan suara gaduh.
Bulir-bulir keringat membasahi hampir seluruh tubuh, bajunya basah. Dengan
nafas terengah-engah dan payah, pemuda itu bangkit dari lantai, lantas kembali
merebahkan tubuh di ranjang.
Sudah
tiga hari ini suhu tubuhnya tinggi. Tulang-tulang terasa sakit seperti akan
lepas dari posisi. Mimpi-mimpi yang sama masih terus menghantui, membuat kerongkongannya
terasa kering dan tenggorokannya sakit. Teriakan ibu, bumi yang bergetar, lantunan
ayat-ayat yang ia yakin pernah dihafal sebelumnya, juga kata-kata seorang ustad
pengurus pondok, bergema, berputar dan berulang kali masuk mengusik tidur.
Perlahan-lahan
pemuda itu bangun. Dengan tenaga yang lemah, ia berusaha meraih tempat air
minum di atas meja. Satu-dua kali kakinya tersandung oleh bingkai-bingkai
lukisan dan kaleng-kaleng cat. Benda-benda itu terhampar begitu saja di lantai
kamar. Berantakan. Selama tiga tahun ini, benda-benda itu sudah akrab menemani
hidupnya yang terasa gelap.
"Fajar...,
Fajar...! ini Hadmei, kamu ada di dalam?" panggil Hadmei sambil mengetuk
pintu kamar Fajar berkali-kali. Ia tadi sempat mendengar suara berisik kaleng
yang berjatuhan dari dalam kamar Fajar, tepat di seberang kamarnya.
Mendengar
suara tetangganya, Fajar segera membuka pintu. Ia tidak peduli dengan udara
pengap kamar yang nanti akan mengusik kenyamanan siapa saja yang bertandang.
"Hadmei,
silahkan masuk!" Matanya mengerjap beberapa kali, Fajar kesulitan
memandang keluar. Telalu terang karena sinar
matahari leluasa masuk lewat jendela.
"Tadi
Ibu kost datang, kamu baik-baik saja, kan?" tanya Hadmei sedikit heran
melihat Fajar yang tampak lebih kurus dari sebelumnya.
"Tidak
apa-apa. Baik, kok."
"Kamu
yakin?" Hadmei tidak yakin tetangganya ini baik-baik saja. Wajah Fajar
terlihat pucat. Hampir setahun dia mengenal Fajar yang berprofesi sebagai
pelukis. Pola hidup pemuda itu bertolak belakang dengan dirinya yang bekerja sebagai
karyawan di sebuah perusahaan swasta. Di saat semua orang mulai terlelap, Fajar
justru baru akan memulai hidupnya. Di saat pagi akan tiba, Fajar justru
tenggelam dalam tidur dan mimpi-mimpinya yang kesiangan. Namanya Fajar, tapi
pemuda itu justru tidak pernah menikmati udara segar di waktu fajar. Ironis sekali, pikirnya.
Hadmei
pamit setelah yakin tetangganya baik-baik saja. Tidak lupa ia juga menyampaikan
pesan ibu kost dan menawarkan bantuan jika pemuda itu membutuhkan sesuatu.
Fajar tentu merasa tersentuh dengan kepedulian tetangganya. Ia hanya bisa
mengucapkan terima kasih
dan tersenyum sinis ketika mendengar nama ibu pemilik kamar sewa mencarinya
berkali-kali. Kewajibannya membayar uang sewa kamar memang sudah dua bulan ini
menunggak. Jadi pantas saja jika wanita paruh baya itu menyempatkan diri untuk
datang.
***
Kanvas
putih sudah rapi dipasang sejak Hadmei meninggalkan kamar tiga puluh menit yang
lalu. Fajar enggan memejamkan mata untuk kembali tidur, padahal kondisinya
lemah dengan suhu tubuh yang juga masih panas.
Demamnya memasuki hari kesekian, dan ia tidak peduli dengan waktu-waktu yang
telah lewat, juga mimpi-mimpi yang
terus datang bersamaan dengan lantunan ayat-ayat suci yang berseliweran.
Menggema dalam batok kepalanya.
“Sial…!”
umpat Fajar melempar kuas sembarang. Sejak tadi, ia
tidak mampu menuangkan imajinasi pada bidang putih di hadapannya.
Hari-hari
sebelumnya pun demikian. Fajar kesulitan menggores kanvas dengan kuas.
Kepalanya terus mengingat mimpi yang sama dan selalu berulang. Jalan cerita
yang melompat-lompat dan tidak jelas. Mulai dari wanita tua yang membangunkannya
subuh itu, dan ia yakin itu adalah ibunya. Nasehat yang menusuk hati dari
seorang ustad, dan ayat-ayat yang
terdengar tidak berurutan.
Waktu terus berjalan. Matahari sempurna memadamkan
cahayanya. Sisa senja tampak lebih sendu dari hari-hari biasa. Mendung
menyelimuti Fajar, membelah kedua pipinya dengan aliran hangat. Airmata yang diketahuinya
nanti akan menjadi saksi di hadapan Tuhan. Setelah memungut kembali kuas di
lantai, ia putuskan untuk sejenak berdiam diri. Dengan mata yang terus menatap
kanvas, Fajar kembali mengenang masa lalu.
Wajah polos dengan langkah gamang memasuki gerbang
pondok. Tahun pertama yang bergelimang prestasi. Kemudian perlahan-lahan
semangat menuntut ilmu meredup tergerus rasa bosan sebab kadung mabuk pergaulan
di luar pondok. Sampai pada proses penangkapan besar-besaran terhadap santri yang
berkeliaran di malam hari. Kesalahan yang berulang berakhir pada keputusan pemulangan.
Ibu yang sedih sebab merasa gagal mendidik. Lingkungan yang minim agama. Pandangan
sebelah mata yang tertuju padanya dari lingkungan,
hingga musibah pecahnya tanggul menjadi gerbang di mana dia memutuskan untuk membenci
takdir. Ibu menjadi korban, sedangkan
Fajar kehilangan diri.
Yadi, bangun! Sebentar
lagi azan.
Allahuakbar Allahuakbar…
Fajaryadi...!!
Allahuakbar…
Ingat dan camkan
kata-kata saya! Jika sampah itu tidak ditemukan di dalam pondok, maka kita akan
lihat dan temukan dia di luar sana.
Wajaa a robbuka wal
malaku shoffan shoffaa…
Fajariyadi...!!
“Ibu…Ibu…”
panggilnya dalam suara yang semakin serak.
“Tidak
…
tidak, bukan! Aku bukan sampah!”
rengeknya mengiba lantas amarahnya meletup.
Fayaumaidzillaa
yu'adzdzibu 'adzaabahuu ahad.
“Ibu…Ibu…”
nafas Fajar menderu-deru. Lompotan-lompatan mimpi dan kenangan masa lalu silih
berganti mengiris hatinya lebih dalam.
Wal Fajr…[4]
Yadi, bangun, nak!
Sebentar lagi azan.
Yaa ayyatuhannafsul
muthmainnah…[5]
“Ir jiii…, irjiii ilaa... rabbiki…raadiyatammardiyyah…, fadkhuli fii ibadii…, wad khulii…jannatii,[6]”
igaunya terbata-bata kala tertidur di saat mengenang
masa lalu. Fajar menyelesaikan
ayat-ayat yang dulu pernah singgah di hati.
Masih
dengan kuas di tangan, Fajar bersandar di kursi,
dan tetap menghadap kanvas. Tubuhnya basah oleh keringat dan airmata yang
menyelinap di dalam mimpi, namun jelas nyata akan kesedihan dan kerinduan. Ia
tahu bahwa takdir Tuhan tidak pernah salah, justru dirinyalah yang salah karena
meninggalkan Tuhan sejak lama.
Allahuakbar Allahuakbar… Allahuakbar
Allahuakbar…
Fajar
membuka mata, “Ya Allah…,”
suaranya tertindih azan yang berkumandang dikejauhan. Di hadapannya, warna langit
biru yang gelap tanpa bintang menjadi tirai penyambut sinar surya yang belum lagi
tiba, memayungi sederet undakan tanah lapang berumput dalam siluet.
Keseluruhannya tampak indah dikemas dalam goresan kuas pada kanvas. Lukisannya
selesai.
Inikah waktu fajar? Batinnya
bertanya. Dan di luar sana, fajar telah hadir dengan udara yang menenangkan
rongga dada.
Asyhadu allailahailallah… Asyhadu
allailahailallah…
Selesai
[1] Sekali-kali
tidak! Apabila bumi digoncangkan berturut-turut. (QS. Al-Fajr:21)
[2] Dan
datanglah Tuhanmu; dan malaikat berbaris-baris. (QS.Al-Fajr: 22)
[3] Maka
pada hari itu, tidak ada seorangpun yang mengazab seperti azab-Nya. (QS.
Al-Fajr: 25)
[4]
Demi fajar (QS.Al-Fajr: 1)
[5]
Hai jiwa yang tenang (QS.Al-Fajr:27)
[6]
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka
masukklah kedalam jamaah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam syurga-Ku. (QS.
Al-Fajr: 28-30)
Biodata
Penulis:
Rina
Adriana, lahir di Pontianak tanggal 13 September. Penikmat sastra dan
pembelajar otodidak.
Nice 👏
BalasHapus