Lonceng khas yang selalu
terdengar di setiap stasiun kereta itu terdengar berulang, disusul peringatan
dari pengeras suara kepada penumpang Kereta Serayu agar segera bersiap dan
memasuki gerbong masing-masing. Sesaat setelah tanda peringatan itu, hentakan
di atas lantai putih mengkilap berderap, ratusan orang bergegas dengan langkah
cepat menuju kereta api Serayu, yang menarik sebelas gerbong lawas. Beberapa
orang berseragam oranye berdiri tegap setiap 20 meter membantu mereka yang
kesulitan menemukan gerbong dan tempat duduknya.
Lengkingan peluit,
bagaikan kunci raksasa yang bisa membuka gembok pengunci roda-roda baja,
memberi sinyal agar kereta itu segera beranjak dari Stasiun Pasarsenen, sebuah
stasiun legendaris yang terletak di pusat ibu kota dengan ketinggian 4,7 mdpl.
-ooOoo-
Lima menit lagi, kereta akan berangkat. Dan aku segera
pergi dari kabupaten ini, dan mereka menyebutnya dengan negeri berlubang dan
berdebu. Hanya berjarak 63 km dari ibu kota negara atau 1½ jam perjalanan menggunakan mobil melalui jalan
bebas hambatan. Tapi, kau akan menemukan sebuah pola pikir penduduknya masih
tertinggal jauh.
Ish,
kenapa tiba-tiba rasa mulas di perutku muncul. Aku pergi dulu ke toilet
(perutku tak bisa diajak kompromi, Kawan) dan segera menghubungimu lagi begitu
urusan dengan perut ini selesai. Mungkin sekitar 15 menit.
Baiklah,
aku akan menunggumu di sini. Ucapanmu tentang saudaramu sangat menarik buatku.
Mungkin kita bisa membicarakannya lebih serius. Hati-hati melewati gerbong,
bisa saja kau berpapasan dengan seorang gadis cantik, dan memintamu untuk
segera melamarnya. Hehehe.
-ooOoo-
Kau sudah selesai? Kenapa
lama sekali aku harus menunggumu dari toilet? Kau tidak tertidur ketika buang
air besar kan?
Hallo, kawan! Maaf kau menungguku sangat lama.
Darimana saja kau? Aku
telah selesai membaca artikel “Tuhan, Rakyat, dan Neolib” dari tulisan Rhenald
Kasali. Sangat, sangat menarik.
Gerbongku baru saja melewati Stasiun Cikarang. Tidak
berhenti memang, tapi kenangan masa lalu di tempat ini masih melekat. Masih hangat,
ketika aku selalu berangkat menuju kawasan industri ini, berjumpa kawan lama,
pedagang kacamata keliling.
Benar-benar
tidak bisa diajak kompromi. Bayangkan saja diriku harus bolak-balik toilet lima
kali, sebelum tatapanku beradu dengan tatapan seorang gadis cantik. Lalu,
sembil menunggu perutku benar-benar pulih, entah keberanian darimana, aku mulai
menyapanya. Kami mengobrol ringan. Basa-basi. Dan dia menawariku segelas lemon tea, dan tentu saja aku terima
sebagai pemberian yang menyenangkan.
Memangnya kau bisa
mengarang cerita seenak perutmu sendiri, lalu berharap aku percaya begitu saja,
hah? Simpan saja dulu bualanmu. Sekarang, tolong jawab dulu rasa penasaranku di
atas. Ceritakan tentang kahidupan di tempat kau tinggal sekarang?
Ada yang lebih menarik untuk diceritakan kepadamu, Kawan,
daripada bercerita tentang negeri berdebu ini. Toh, apa yang harus kuceritakan.
Hampir tak ada hal yang istimewa dari tempatku tinggal kini.
Tapi, kau akan mendengar ceritaku tentang gadis itu.
Gadis yang memberiku segelas lemon tea.
Bukan jeruk, atau “gadis jeruk” (masih ingat kan ketika bertemu Jostein
Gaarder, lalu dia memberi buku keren itu?). Tapi lemon tea, ditaburi bongkahan es super dingin.
Mata gadis itu sipit, nyaris tak pernah kulihat bola mata
hitamnya. Apalagi ketika dia tertawa ringan, kelopak mata perempuan dengan
rambut lurus sebahu itu tertutup sempurna. Mengenakan kacamata bulat hitam yang
dia kenakan di dahinya,
Kau tahu
tentang lemon tea?
Ceritakan saja lah.
Tadinya aku berharap akan mendengar kisah sebuah daerah nun jauh di sana.
Tempat yang sangat jauh dari sini, dari negeri domba wol. Mungkinkah tempatmu
tinggal belum terjamah jaringan fiber optic? Kalau
iya, tawaku akan membahana sampai Samudra Pasifik. Kalau iya, ...
Ah, sudahlah. Sekencang apa pun kau tertawa, diriku tak
akan pernah menceritakannya kepadamu. Menceritakan tempatku kini tinggal. Kali
ini gadis itu benar-benar merasuk otak yang sebesar dua kepalan tanganmu. Gadis
pembawa segelas lemon tea.
Sebelum minuman itu siap saji, dia adalah air murni yang
tidak berwarna alias bening. Jangan sekali-kali mengatakan air bening dengan
“air putih”, Kawan. Air bening itu tidak mengandung apa pun selain
molekul-molekul air, jutaan bahkan trilyun molekul air di dalam gelas. Bawa
saja segelas air bening itu ke tepi pantai. Kau akan mendapatkan sebengkah es
ketika suhunya 0°C dan segelas air yang mendidih pada suhu 100°C.
Para
ilmuwan atau ahli kimia mengatakannya sebagai titik didih dan titik beku pelarut
murni. Pada beberapa buku teks, kita akan mendapatkan simbol ΔTb° dan ΔTf°. (Ingat Tb di sini
berarti temperatur of boil dan temperature of freeze). Setelah itu, kau
bisa menambahkan beberapa sendok gula pasir, dan menjadikannya berubah menjadi
air gula. Mulai sekarang sebur dengan nama larutan gula. Semakin banyak gula
kau tambahkan, larutan itu akan semakin kental, semakin banyak kandungan gula
yang terlarut, semakin besar konsentrasi
larutan gula itu.
Apa menariknya? Otak di
dalam kepalamu dipenuhi gadis itu. Sekarang kau malah menceritakan tentang air
bening, gula pasir, dan konsentrasi larutan. Apa-apaan tulisanmu itu, Kawan?
Apa faedahnya buat diriku?
Mudah sekali, Kawan. Karena dunia ini selalu dipenuhi
hal-hal menakjubkan, hal yang ajaib. Semuanya tidak akan pernah lepas dari
dunia sains.
(bersambung)
-ooOoo-
#OneDayOnePost #ScienceFiction
#Oleh : Dwi Septiyana
Berasa belajar fisika lagi 😁
BalasHapusAsikkk
BalasHapus