Secangkir Kopi Sebelum Mati - One Day One Post

Breaking

Senin, 03 September 2018

Secangkir Kopi Sebelum Mati


canva.com
"Sial!" gerutu lelaki berhelm hitam sambil menggebrak dasbor motor matic-nya. Ia tampak gusar melihat panjangnya deretan kendaraan yang macet total pagi itu. Pukul tujuh lewat tiga puluh menit, mungkin ia takkan punya cukup waktu untuk mengejar jam masuk karyawan.

"Ada apa sih, Bang?" tanyanya pada seorang supir angkot.

"Nggak tahu. Katanya ada kecelakaan, meninggal di tempat!"

Mata lelaki itu mencoba mencari celah untuk diterobos. Tetapi, semua celah penuh dengan pemotor.

"Ngapain aja, sih Si Ogah?" ujarnya kesal pada Pak Ogah, lelaki gempal berkulit gelap, yang biasanya mengatur lalu lintas di pertigaan. Pertigaan itu tidak terlalu jauh dari tempatnya sekarang.

"Percuma, malah bikin tambah ruwet." keluh supir angkot apatis.

"Sialan! Telat lagi, deh!" gerutu lelaki itu lagi. Tidak hanya dia, semua orang di jalan itu berulang kali mendesah kesal dan melihat jam, jelas sekali mereka akan terlambat.

Butuh lima belas menit untuk mendapatkan celah. Lelaki itu melajukan motornya perlahan, sesekali mulutnya berdecak kesal. Mobil-mobil pasrah menunggu, bising klakson bersahutan minta perhatian.

Lelaki itu terus merangsek maju, sedikit demi sedikit, hingga sampai di pertigaan tempat biasanya Pak Ogah bertugas. Sayangnya, hari ini dia absen, karena ternyata dialah yang menjadi korban kecelakaan. Badannya remuk dilindas truk, sementara kepalanya menyembul dari balik ban, terbelalak mengerikan.

Si lelaki terkesiap, hatinya berdesir ketakutan. Tiba-tiba, ia merasa bersalah karena telah menyalahkan Pak Ogah. Seketika hatinya iba melihat Pak Ogah berpulang dengan cara tragis sesuai kebiasaan selama hidupnya: di jalanan.

#

Setiap pagi, ketika bapak berpamitan pergi mengais rezeki, aku selalu bertanya dalam hati, mungkinkah ini paginya yang terakhir? Ia berada di jalanan, di suatu tempat yang tak aman. Bahaya dan celaka selalu mencandai seperti kawan, namun bisa berubah menjadi lawan mematikan.

Tak ada firasat sebelumnya bahwa ini adalah paginya yang terakhir. Hanya setengah jam berselang setelah ia  pamit, kudengar kabar memilukan tentangnya. Bapak tewas dilindas truk, kendaraan yang setiap hari diaturnya. Aku terduduk lemas di kursi sementara emak roboh pingsan.

Bapak, ia telah pergi ketika bertugas, melakoni pekerjaan yang tak diinginkan. Bapak bukan tak sadar risiko menjadi Pak Ogah. Tetapi, ia hampir tak punya pilihan. Sejak di-PHK, ijazah SMP-nya tak berguna untuk mendapat kerja, berulang kali berdagang dengan modal pinjaman, sering kali buntung ketimbang untung. Dalam kalut dan putus asa, sebuah kebetulan akhirnya menjadi jalan hidup. Pertigaan di depan kantor kabupaten yang selalu padat, ditinggal mati Pak Ogah yang biasa bertugas di sana. Ia mati karena paru-paru akibat menghirup polusi setiap hari.

Bapak tak menyiakan kesempatan. Esok harinya, pertigaan itu kembali lancar karena ia telah menjadi Pak Ogah baru di sana.

Tentu saja emak menentang keras keputusan bapak. Tapi, ketika hari pertama bapak pulang dengan uang yang lumayan, emak mulai melunak.

"Daripada aku maling, lebih baik begini. Bantu orang, dapat uang, dapat pahala."

"Pahala apa? Kamu nggak pernah solat, pahala dari mana?!" tukas emak.

"Jangan salah, kalau nggak ada yang ngatur lalu lintas di pertigaan itu, kacau balau. Semua orang mau menang sendiri, kayak jalan itu punya emaknya."

Aku sudah kelas satu SMA, tahu bedanya pekerjaan dengan sekadar karena tak ada pilihan. Bapak seperti mengerti isi pikiranku.

"Jadi Pak Ogah memang bukan pekerjaan menjanjikan. Tapi, cari pekerjaan itu sulit, sama sulitnya dengan sekolah. Sekarang disyukuri dulu yang ada. Besok, Bapak akan cari pekerjaan baru."

Tetapi, setiap pagi bapak selalu pergi ke pertigaan itu lagi dan lagi. Hingga akhirnya kami berdamai dengan nasib bahwa bapak hanyalah seorang Pak Ogah di pertigaan.

Setelah kupikir-pikir, pekerjaan bapak tidak ada buruknya. Dia pahlawan bagiku karena tak malu menjadi apa saja demi makan dan sekolahku. Dia juga berjasa bagi para pengguna jalan raya agar lalu lintas tertib. Meskipun tidak ada yang benar-benar menghargai jasanya, tetapi setidaknya terima kasih dan recehan yang mereka berikan dengan cuma-cuma cukup untuk memberinya perasaan dianggap.

Ya, mungkin orang-orang itu baru akan menyadari keberadaannya, justru setelah ketiadaannya.

#

"Saudara tunggu di sini. Tenangkan diri dulu sebelum petugas memeriksa saudara!"

Aku menurut, memilih salah satu kursi di depan meja petugas kepolisian dan duduk dengan lesu. Hari yang sial. Seharusnya tadi tak kupaksakan menyetir dalam keadaan mengantuk. Untunglah polisi sigap mengamankanku dari amukan warga. Kalau tidak, sekarang mungkin aku telah menyusul Pak Ogah yang baru saja mati karena trukku.

"Hei, Bang!"

Aku terkesiap, mataku seketika terbelalak melihat sosok itu ada di depanku. Pak Ogah dengan topi hitam yang terkapar dilindas trukku, duduk bersandar dengan menyilang  kaki. Aku mengucek mata, memastikan ini hanyalah ilusi.

"Kenapa? Takut? Sudahlah, tenang saja." ujarnya datar.

"Lain kali, kalau mengantuk, tidurlah dulu." sambungnya tanpa menghiraukan aku yang mulai gagu.

Spontan telunjukku mengarah padanya, ingin kuberlari ke luar, namun serasa ada berton beban di kaki. Aku terpaku di kursi dengan mulut ternganga. Ingin teriak sejadinya, namun yang keluar hanya suara seperti orang tercekik.

"Jangan takut, Bang. Justru aku ingin berterimakasih padamu," ujarnya tenang, "sekarang aku bisa istirahat. Aku lelah di jalan, terpapar debu dan polusi, dilempar uang recehan, dipanggang matahari, diguyur hujan, kadang dimaki," Ia mendesah, "sudah lama aku ingin bebas dari kesusahan hidup. Untunglah kamu menabrakku, sehingga aku tak perlu bunuh diri."

"K...k...kamu!" ucapku kelu.

"Lain kali,  ngopi dulu sebelum pergi. Jadi, kalau kamu mati, kamu sudah ngopi."

"Tt...tt... tolong! Tolong!" teriakku tercekat.

"Percuma saja minta tolong, mereka akan mengira kamu pura-pura gila agar tak dipenjara." tukasnya.

"Dengarkan aku!" katanya masih tanpa memandangku, "kamu harus menikahi istriku! Kalau tidak, aku akan menghantuimu sepanjang hidup. Mengerti?"

"Tt...tapi...?!"

"Aku sudah meninggalkan wasiat untuknya, bila aku mati karena ditabrak truk, ia  harus menikah dengan pelakunya."

"Kk...k...kenapa?"

Lelaki itu bangkit, "agar ia dapat membuatkan kopi setiap pagi untukmu."

Tepat setelah itu, Pak Ogah raib, lenyap tak berbekas. Tak lama kemudian polisi masuk. Ia mendapatiku pias dan gagu.

#

Setelah proses hukum selesai, supir truk menikahi mantan istri Pak Ogah. Sebulan berselang, ia ditemukan meninggal setelah minum kopi.

End.

#OneDayOnePost




5 komentar:

  1. Waaah, tragiiis ...secangkir kopi pembawa maut?
    Menarik tulisannya.

    BalasHapus
  2. Waw..
    Ngeri juga ya. Udah pada ngopi belom? Diem" bae 😂😂

    BalasHapus
  3. wkwk, benar-benar seperti makan rujak buah, ada asam, manis dan pedas. Keren dan menarik ceritanya 😆✊❤

    BalasHapus

Pages