canva.com
"Sial!"
gerutu lelaki berhelm hitam sambil menggebrak dasbor motor matic-nya. Ia tampak
gusar melihat panjangnya deretan kendaraan yang macet total pagi itu. Pukul
tujuh lewat tiga puluh menit, mungkin ia takkan punya cukup waktu untuk
mengejar jam masuk karyawan.
"Ada
apa sih, Bang?" tanyanya pada seorang supir angkot.
"Nggak
tahu. Katanya ada kecelakaan, meninggal di tempat!"
Mata
lelaki itu mencoba mencari celah untuk diterobos. Tetapi, semua celah penuh
dengan pemotor.
"Ngapain
aja, sih Si Ogah?" ujarnya kesal pada Pak Ogah, lelaki gempal berkulit
gelap, yang biasanya mengatur lalu lintas di pertigaan. Pertigaan itu tidak
terlalu jauh dari tempatnya sekarang.
"Percuma,
malah bikin tambah ruwet." keluh supir angkot apatis.
"Sialan!
Telat lagi, deh!" gerutu lelaki itu lagi. Tidak hanya dia, semua orang di
jalan itu berulang kali mendesah kesal dan melihat jam, jelas sekali mereka
akan terlambat.
Butuh
lima belas menit untuk mendapatkan celah. Lelaki itu melajukan motornya
perlahan, sesekali mulutnya berdecak kesal. Mobil-mobil pasrah menunggu, bising
klakson bersahutan minta perhatian.
Lelaki
itu terus merangsek maju, sedikit demi sedikit, hingga sampai di pertigaan
tempat biasanya Pak Ogah bertugas. Sayangnya, hari ini dia absen, karena
ternyata dialah yang menjadi korban kecelakaan. Badannya remuk dilindas truk,
sementara kepalanya menyembul dari balik ban, terbelalak mengerikan.
Si
lelaki terkesiap, hatinya berdesir ketakutan. Tiba-tiba, ia merasa bersalah
karena telah menyalahkan Pak Ogah. Seketika hatinya iba melihat Pak Ogah
berpulang dengan cara tragis sesuai kebiasaan selama hidupnya: di jalanan.
#
Setiap
pagi, ketika bapak berpamitan pergi mengais rezeki, aku selalu bertanya dalam
hati, mungkinkah ini paginya yang terakhir? Ia berada di jalanan, di suatu
tempat yang tak aman. Bahaya dan celaka selalu mencandai seperti kawan, namun
bisa berubah menjadi lawan mematikan.
Tak
ada firasat sebelumnya bahwa ini adalah paginya yang terakhir. Hanya setengah
jam berselang setelah ia pamit, kudengar
kabar memilukan tentangnya. Bapak tewas dilindas truk, kendaraan yang setiap
hari diaturnya. Aku terduduk lemas di kursi sementara emak roboh pingsan.
Bapak,
ia telah pergi ketika bertugas, melakoni pekerjaan yang tak diinginkan. Bapak
bukan tak sadar risiko menjadi Pak Ogah. Tetapi, ia hampir tak punya pilihan.
Sejak di-PHK, ijazah SMP-nya tak berguna untuk mendapat kerja, berulang kali
berdagang dengan modal pinjaman, sering kali buntung ketimbang untung. Dalam
kalut dan putus asa, sebuah kebetulan akhirnya menjadi jalan hidup. Pertigaan
di depan kantor kabupaten yang selalu padat, ditinggal mati Pak Ogah yang biasa
bertugas di sana. Ia mati karena paru-paru akibat menghirup polusi setiap hari.
Bapak
tak menyiakan kesempatan. Esok harinya, pertigaan itu kembali lancar karena ia
telah menjadi Pak Ogah baru di sana.
Tentu
saja emak menentang keras keputusan bapak. Tapi, ketika hari pertama bapak
pulang dengan uang yang lumayan, emak mulai melunak.
"Daripada
aku maling, lebih baik begini. Bantu orang, dapat uang, dapat pahala."
"Pahala
apa? Kamu nggak pernah solat, pahala dari mana?!" tukas emak.
"Jangan
salah, kalau nggak ada yang ngatur lalu lintas di pertigaan itu, kacau balau.
Semua orang mau menang sendiri, kayak jalan itu punya emaknya."
Aku
sudah kelas satu SMA, tahu bedanya pekerjaan dengan sekadar karena tak ada
pilihan. Bapak seperti mengerti isi pikiranku.
"Jadi
Pak Ogah memang bukan pekerjaan menjanjikan. Tapi, cari pekerjaan itu sulit,
sama sulitnya dengan sekolah. Sekarang disyukuri dulu yang ada. Besok, Bapak
akan cari pekerjaan baru."
Tetapi,
setiap pagi bapak selalu pergi ke pertigaan itu lagi dan lagi. Hingga akhirnya
kami berdamai dengan nasib bahwa bapak hanyalah seorang Pak Ogah di pertigaan.
Setelah
kupikir-pikir, pekerjaan bapak tidak ada buruknya. Dia pahlawan bagiku karena
tak malu menjadi apa saja demi makan dan sekolahku. Dia juga berjasa bagi para
pengguna jalan raya agar lalu lintas tertib. Meskipun tidak ada yang
benar-benar menghargai jasanya, tetapi setidaknya terima kasih dan recehan yang
mereka berikan dengan cuma-cuma cukup untuk memberinya perasaan dianggap.
Ya,
mungkin orang-orang itu baru akan menyadari keberadaannya, justru setelah
ketiadaannya.
#
"Saudara
tunggu di sini. Tenangkan diri dulu sebelum petugas memeriksa saudara!"
Aku
menurut, memilih salah satu kursi di depan meja petugas kepolisian dan duduk
dengan lesu. Hari yang sial. Seharusnya tadi tak kupaksakan menyetir dalam
keadaan mengantuk. Untunglah polisi sigap mengamankanku dari amukan warga.
Kalau tidak, sekarang mungkin aku telah menyusul Pak Ogah yang baru saja mati
karena trukku.
"Hei,
Bang!"
Aku
terkesiap, mataku seketika terbelalak melihat sosok itu ada di depanku. Pak
Ogah dengan topi hitam yang terkapar dilindas trukku, duduk bersandar dengan
menyilang kaki. Aku mengucek mata,
memastikan ini hanyalah ilusi.
"Kenapa?
Takut? Sudahlah, tenang saja." ujarnya datar.
"Lain
kali, kalau mengantuk, tidurlah dulu." sambungnya tanpa menghiraukan aku
yang mulai gagu.
Spontan
telunjukku mengarah padanya, ingin kuberlari ke luar, namun serasa ada berton
beban di kaki. Aku terpaku di kursi dengan mulut ternganga. Ingin teriak
sejadinya, namun yang keluar hanya suara seperti orang tercekik.
"Jangan
takut, Bang. Justru aku ingin berterimakasih padamu," ujarnya tenang,
"sekarang aku bisa istirahat. Aku lelah di jalan, terpapar debu dan
polusi, dilempar uang recehan, dipanggang matahari, diguyur hujan, kadang
dimaki," Ia mendesah, "sudah lama aku ingin bebas dari kesusahan
hidup. Untunglah kamu menabrakku, sehingga aku tak perlu bunuh diri."
"K...k...kamu!"
ucapku kelu.
"Lain
kali, ngopi dulu sebelum pergi. Jadi,
kalau kamu mati, kamu sudah ngopi."
"Tt...tt...
tolong! Tolong!" teriakku tercekat.
"Percuma
saja minta tolong, mereka akan mengira kamu pura-pura gila agar tak
dipenjara." tukasnya.
"Dengarkan
aku!" katanya masih tanpa memandangku, "kamu harus menikahi istriku!
Kalau tidak, aku akan menghantuimu sepanjang hidup. Mengerti?"
"Tt...tapi...?!"
"Aku
sudah meninggalkan wasiat untuknya, bila aku mati karena ditabrak truk, ia harus menikah dengan pelakunya."
"Kk...k...kenapa?"
Lelaki
itu bangkit, "agar ia dapat membuatkan kopi setiap pagi untukmu."
Tepat
setelah itu, Pak Ogah raib, lenyap tak berbekas. Tak lama kemudian polisi masuk.
Ia mendapatiku pias dan gagu.
#
Setelah
proses hukum selesai, supir truk menikahi mantan istri Pak Ogah. Sebulan
berselang, ia ditemukan meninggal setelah minum kopi.
End.
#OneDayOnePost
Waaah, tragiiis ...secangkir kopi pembawa maut?
BalasHapusMenarik tulisannya.
Terima kasih sudah mampir :D
HapusWaw..
BalasHapusNgeri juga ya. Udah pada ngopi belom? Diem" bae 😂😂
wkwk, benar-benar seperti makan rujak buah, ada asam, manis dan pedas. Keren dan menarik ceritanya 😆✊❤
BalasHapusYa Allah pak ogah 😭
BalasHapus