Oleh : Uncle Ik
Penduduk desa yang lain sudah
jauh-jauh hari mengungsi karena bantuan tidak kunjung datang. Masih segar dalam
ingatanku kejadian hampir sebulan yang lalu. Waktu itu malam hari. Malam yang
lebih gelap dari biasanya, tak ada bintang yang tampak. Langit pekat. Dari jauh
samar-samar kudengar suara gemuruh, disusul guncangan hebat di tanah. Ayah yang
sedang asyik menekuni kopinya bersama ibu di dapur tidak sempat berbuat banyak
saat atap dapur yang disangga balok-balok kayu besar roboh, atap dapur yang
disusun dari genting-genting berat menimpa tubuh mereka. Mereka tewas di
tempat. Tidak jauh beda dengan si sulung dan kakak keduaku, mereka mati
seketika saat dinding kamar mereka roboh meniban tubuh mereka tanpa ampun.
Aku yang waktu itu sedang ada di teras
sambil memandangi kunang-kunang bersama adikku berhasil selamat. Naasnya seng
yang digunakan sebagai talang air roboh dan mengenai betis, robekannya dalam
dan panjang. Darah muncrat ke mana-mana, setelah itu aku tak bisa mengingat
apa-apa. Semuanya mendadak gelap.
Saat sadar aku hanya bisa melihat
warga yang berkerumun dan adikku yang tertidur di sampingku dengan mata sembab,
kutaksir dia kelelahan setelah lama menangis. Saat melihat aku terbangun, salah
satu warga tertua menghampiriku dan memberikan minum. Selepas itu dia memintaku
bersabar dan mengikhlaskan semua dan menganggap ini sebagai sebuah ujian agar
hamba-Nya lebih bertakwa.
Aku hanya diam, tidak bersuara,
beberapa detik sesudahnya air mataku buncah saat melihat wajah adikku yang
sedang tertidur, teringat ayah, ibu dan dua kakakku yang kata warga tertua
sudah tenang bersemayam di pemakaman desa.
Seminggu berlalu setelah kejadian itu,
hampir separuh warga desa wafat. Kebanyakan bukan menjadi korban gempa seperti
keluargaku tapi karena kelaparan dan
sakit. Satu-satunya akses jalan yang menghubungkan desa ini dengan desa sebelah
terputus karena longsor, tinggi timbunannya hampir lima meter. Tidak ada
obat-obatan dan makanan yang bisa didatangkan, kami terisolir secara total,
menunggu mati.
Akhirnya warga memutuskan untuk
meninggalkan kampung, berjalan sejauh dua puluh kilometer menembus hutan dan
bukit-bukit dengan perbekalan seadanya, beberapa orang menandu keluarganya yang
terluka.
Aku yang merasa tidak punya
siapa-siapa lagi selain adikku, ditambah luka pada betis yang membuatku sulit
berjalan memutuskan untuk tetap tinggal di desa ini. Berharap ada bantuan yang
nanti mungkin datang.
Berminggu-minggu sesudahnya tak ada
satu pun kabar yang datang. Kami berdua terisolir di desa ini tanpa harapan.
Untuk bertahan hidup kami menggasak
dedaunan, ubi, singkong, talas atau apapun yang sekiranya bisa kami gunakan untuk mengganjal perut.
Kami mendapatkan semuanya dari kebun yang ditinggalkan warga. Setelah semuanya
habis, kami terpaksa mulai
mencari daun dan buah-buahan di tepi hutan.
Puncaknya si bungsu mati karena dingin dan keracunan. Hanya tersisa aku
sendiri di desa ini, ditinggalkan untuk mati.
Di ujung batas kesabaranku aku mulai
menyalah-nyalahkan Tuhan. Namun, aku selalu teringat petuah bapak bahwa Tuhan
tidak akan pernah memberikan ujian bagi hamba-Nya melebihi kemampuan si hamba. Lalu
aku turunkan standar tuduhanku pada orang paling berkuasa di negeri ini.
Penguasa yang sudah alfa mengingat ada satu nyawa yang masih tersisa dan
menunggu untuk diselamatkan. Kata bapak lagi, bahwasanya penguasa itu adalah
wakil Tuhan di bumi, maka apa pun yang dia lakukan adalah juga kehendak Tuhan.
Aku semakin gamang, menyalahkan penguasa berarti juga secara tidak langsung
menyalahkan Tuhan.
Aku teringat ketua desa yang sudah pergi
jauh-jauh hari bersama warga lainnya untuk pergi ke desa sebelah. Sudah
sampaikah mereka di sana? Jika sudah sampai kenapa sampai sekarang masih tidak
ada juga bantuan atau setidaknya kabar berita untuk sekadar menjadi pemercik
harapan. Tapi aku yakin, Wak Sodik, ketua desaku adalah orang yang amanah.
Sepanjang pengetahuanku dia adalah orang yang alim, pemimpin yang tahu adat dan
bisa dipegang omongannya, dia jarang berdusta, apalagi sampai tega
menelantarkan dua nyawa yang menjadi tanggung jawab sebagai warga desanya.
Kemana dia sekarang? Apakah dia dan penduduk kampung lainnya gagal mencapai
desa terdekat? Entahlah.
Aku hanya bisa memandangi wajah si
bungsu yang tampak begitu tenang. Hujan di luar semakin deras, suara atap seng
yang tertimpa air hujan semakin nyaring, bikin pekak. Aku berteriak
sejadi-jadinya mencoba mengalahkan deru suara bising ini.
Aku ingat dulu, dulu sekali sebelum
orang yang sekarang berkuasa di negeri ini menjadi penguasa, dia pernah datang
ke desaku. Lelaki setengah baya dengan pembawaan yang ringkas dan sederhana itu
pernah menjanjikan akan membangun desa kami, membangun jalan-jalan beraspal,
mengalirkan listrik dan membangun bendungan agar saat musim kemarau desa kami
tidak selalu kekeringan. Sekarang kemana dia? Utusan Tuhan? Tuhan apa? Tuhan
yang mana?
Semakin banyak aku mengingat, semakin
besar kebencian dalam batinku tumbuh. Semakin mengenang wajah ibu, bapak, kakak
sulung, kakak keduaku dan terakhir adikku, semakin besar pula keinginan
memberontak dalam hati.
Tapi kata bapak lagi, aku tidak boleh
protes. Kehendak penguasa adalah kehendak Tuhan. Penguasa mana? Penguasa yang
menelantarkan rakyatnya? Tuhan mana? Tuhan yang sesaat memalingkan muka dari
derita hamba-Nya?
Kucoba bangun dengan berpegangan pada
dinding bedeng, merayap-rayap untuk menggapai pintu. Tujuanku adalah jurang di
samping bedeng. Ketinggian sekitar dua puluh meter dengan dasar batu cadas
rasanya cukup untuk bisa membuat seseorang mati cepat.
Dengan tenaga yang tersisa dan rasa
sakit yang kuacuhkan aku berlari sekuat-kuatnya menerobos garis-garis hujan.
Jarak antara pintu bedeng dan bibir
jurang hanya sekitar dua puluh lima meter tapi aku merasa itu adalah jarak
terjauh yang pernah aku tempuh, jarak yang memisahkan antara hidup dan mati.
Waktu berjalan begitu lambat. Ada jeda yang bisa kugunakan untuk berdoa, semoga
kali ini Tuhan sudi mengarahkan pandangan-Nya kepadaku. Hanya untuk saat ini
saja.
Kusebut berkali-kali nama Tuhan,
kusanjung puja, kupuji-puji seikhlas hati, kusebut segala kemahaan-Nya; Maha
Besar, Maha Pengampun, Maha Perkasa, Maha Pengasih, Maha Pengabul Doa, dan doa
pamungkasku sesaat setelah tubuhku melayang di udara adalah agar nanti aku
dibangkitkan lagi, saat aku boleh memaki-maki penguasa dan menuduh-nuduh Tuhan.
Itu saja.
Kupejamkan mata lalu kuingat semua
wajah orang yang kucinta. Tidak lama sesudah itu semuanya gelap.
Malangnya kau Dek, tinggal di negeri tanpa bendera... Mungkin karena itu pula kau "dilupakan" oleh Penguasa Negerimu???ðŸ˜
BalasHapusnelangsa sekali ...
BalasHapus