Negeri Tanpa Bendera - One Day One Post

Breaking

Kamis, 22 November 2018

Negeri Tanpa Bendera

Oleh : Uncle Ik

Sudah sejak empat jam yang lalu si bungsu mati dalam pelukanku, sementara betisku yang luka masih menganga, basah, lembek dan bernanah. Lukanya memanjang sekitar lima belas senti. Suara hujan masih bertalu-talu di atas atap yang terbuat dari seng. Suaranya menggema dalam bedeng beralas tanah yang dilapis kain gombal di sana-sini untuk menyekat hawa dingin. Si bungsu meringkuk, dia sudah bahagia karena lepas dari penderitaan berminggu-minggu ini. Tubuhnya yang kurus meringkuk di atas pahaku. Kutebak dia mati bukan hanya karena sergapan hawa dingin setelah desa ini dilanda hujan hampir dua hari tanpa jeda, tapi juga karena keracunan setelah menggasak dedaunan liar dan ubi yang kami dapat dari sekitar bedeng.
          Penduduk desa yang lain sudah jauh-jauh hari mengungsi karena bantuan tidak kunjung datang. Masih segar dalam ingatanku kejadian hampir sebulan yang lalu. Waktu itu malam hari. Malam yang lebih gelap dari biasanya, tak ada bintang yang tampak. Langit pekat. Dari jauh samar-samar kudengar suara gemuruh, disusul guncangan hebat di tanah. Ayah yang sedang asyik menekuni kopinya bersama ibu di dapur tidak sempat berbuat banyak saat atap dapur yang disangga balok-balok kayu besar roboh, atap dapur yang disusun dari genting-genting berat menimpa tubuh mereka. Mereka tewas di tempat. Tidak jauh beda dengan si sulung dan kakak keduaku, mereka mati seketika saat dinding kamar mereka roboh meniban tubuh mereka tanpa ampun.
          Aku yang waktu itu sedang ada di teras sambil memandangi kunang-kunang bersama adikku berhasil selamat. Naasnya seng yang digunakan sebagai talang air roboh dan mengenai betis, robekannya dalam dan panjang. Darah muncrat ke mana-mana, setelah itu aku tak bisa mengingat apa-apa. Semuanya mendadak gelap.
          Saat sadar aku hanya bisa melihat warga yang berkerumun dan adikku yang tertidur di sampingku dengan mata sembab, kutaksir dia kelelahan setelah lama menangis. Saat melihat aku terbangun, salah satu warga tertua menghampiriku dan memberikan minum. Selepas itu dia memintaku bersabar dan mengikhlaskan semua dan menganggap ini sebagai sebuah ujian agar hamba-Nya lebih bertakwa.
          Aku hanya diam, tidak bersuara, beberapa detik sesudahnya air mataku buncah saat melihat wajah adikku yang sedang tertidur, teringat ayah, ibu dan dua kakakku yang kata warga tertua sudah tenang bersemayam di pemakaman desa.
          Seminggu berlalu setelah kejadian itu, hampir separuh warga desa wafat. Kebanyakan bukan menjadi korban gempa seperti keluargaku tapi  karena kelaparan dan sakit. Satu-satunya akses jalan yang menghubungkan desa ini dengan desa sebelah terputus karena longsor, tinggi timbunannya hampir lima meter. Tidak ada obat-obatan dan makanan yang bisa didatangkan, kami terisolir secara total, menunggu mati.
          Akhirnya warga memutuskan untuk meninggalkan kampung, berjalan sejauh dua puluh kilometer menembus hutan dan bukit-bukit dengan perbekalan seadanya, beberapa orang menandu keluarganya yang terluka.
          Aku yang merasa tidak punya siapa-siapa lagi selain adikku, ditambah luka pada betis yang membuatku sulit berjalan memutuskan untuk tetap tinggal di desa ini. Berharap ada bantuan yang nanti mungkin datang.
          Berminggu-minggu sesudahnya tak ada satu pun kabar yang datang. Kami berdua terisolir di desa ini tanpa harapan. Untuk bertahan hidup kami menggasak dedaunan, ubi, singkong, talas atau apapun yang sekiranya bisa kami gunakan untuk mengganjal perut. Kami mendapatkan semuanya dari kebun yang ditinggalkan warga. Setelah semuanya habis, kami terpaksa mulai mencari daun dan buah-buahan di tepi hutan.
            Puncaknya si bungsu mati karena dingin dan keracunan. Hanya tersisa aku sendiri di desa ini, ditinggalkan untuk mati.
          Di ujung batas kesabaranku aku mulai menyalah-nyalahkan Tuhan. Namun, aku selalu teringat petuah bapak bahwa Tuhan tidak akan pernah memberikan ujian bagi hamba-Nya melebihi kemampuan si hamba. Lalu aku turunkan standar tuduhanku pada orang paling berkuasa di negeri ini. Penguasa yang sudah alfa mengingat ada satu nyawa yang masih tersisa dan menunggu untuk diselamatkan. Kata bapak lagi, bahwasanya penguasa itu adalah wakil Tuhan di bumi, maka apa pun yang dia lakukan adalah juga kehendak Tuhan. Aku semakin gamang, menyalahkan penguasa berarti juga secara tidak langsung menyalahkan Tuhan.
          Aku teringat ketua desa yang sudah pergi jauh-jauh hari bersama warga lainnya untuk pergi ke desa sebelah. Sudah sampaikah mereka di sana? Jika sudah sampai kenapa sampai sekarang masih tidak ada juga bantuan atau setidaknya kabar berita untuk sekadar menjadi pemercik harapan. Tapi aku yakin, Wak Sodik, ketua desaku adalah orang yang amanah. Sepanjang pengetahuanku dia adalah orang yang alim, pemimpin yang tahu adat dan bisa dipegang omongannya, dia jarang berdusta, apalagi sampai tega menelantarkan dua nyawa yang menjadi tanggung jawab sebagai warga desanya. Kemana dia sekarang? Apakah dia dan penduduk kampung lainnya gagal mencapai desa terdekat? Entahlah.
          Aku hanya bisa memandangi wajah si bungsu yang tampak begitu tenang. Hujan di luar semakin deras, suara atap seng yang tertimpa air hujan semakin nyaring, bikin pekak. Aku berteriak sejadi-jadinya mencoba mengalahkan deru suara bising ini.
          Aku ingat dulu, dulu sekali sebelum orang yang sekarang berkuasa di negeri ini menjadi penguasa, dia pernah datang ke desaku. Lelaki setengah baya dengan pembawaan yang ringkas dan sederhana itu pernah menjanjikan akan membangun desa kami, membangun jalan-jalan beraspal, mengalirkan listrik dan membangun bendungan agar saat musim kemarau desa kami tidak selalu kekeringan. Sekarang kemana dia? Utusan Tuhan? Tuhan apa? Tuhan yang mana?
          Semakin banyak aku mengingat, semakin besar kebencian dalam batinku tumbuh. Semakin mengenang wajah ibu, bapak, kakak sulung, kakak keduaku dan terakhir adikku, semakin besar pula keinginan memberontak dalam hati.
          Tapi kata bapak lagi, aku tidak boleh protes. Kehendak penguasa adalah kehendak Tuhan. Penguasa mana? Penguasa yang menelantarkan rakyatnya? Tuhan mana? Tuhan yang sesaat memalingkan muka dari derita hamba-Nya?
          Kucoba bangun dengan berpegangan pada dinding bedeng, merayap-rayap untuk menggapai pintu. Tujuanku adalah jurang di samping bedeng. Ketinggian sekitar dua puluh meter dengan dasar batu cadas rasanya cukup untuk bisa membuat seseorang mati cepat.
          Dengan tenaga yang tersisa dan rasa sakit yang kuacuhkan aku berlari sekuat-kuatnya menerobos garis-garis hujan.
          Jarak antara pintu bedeng dan bibir jurang hanya sekitar dua puluh lima meter tapi aku merasa itu adalah jarak terjauh yang pernah aku tempuh, jarak yang memisahkan antara hidup dan mati. Waktu berjalan begitu lambat. Ada jeda yang bisa kugunakan untuk berdoa, semoga kali ini Tuhan sudi mengarahkan pandangan-Nya kepadaku. Hanya untuk saat ini saja.
          Kusebut berkali-kali nama Tuhan, kusanjung puja, kupuji-puji seikhlas hati, kusebut segala kemahaan-Nya; Maha Besar, Maha Pengampun, Maha Perkasa, Maha Pengasih, Maha Pengabul Doa, dan doa pamungkasku sesaat setelah tubuhku melayang di udara adalah agar nanti aku dibangkitkan lagi, saat aku boleh memaki-maki penguasa dan menuduh-nuduh Tuhan. Itu saja.
          Kupejamkan mata lalu kuingat semua wajah orang yang kucinta. Tidak lama sesudah itu semuanya gelap.

2 komentar:

  1. Malangnya kau Dek, tinggal di negeri tanpa bendera... Mungkin karena itu pula kau "dilupakan" oleh Penguasa Negerimu???😭

    BalasHapus

Pages