Harapan Yang Tak Diinginkan - One Day One Post

Breaking

Jumat, 02 November 2018

Harapan Yang Tak Diinginkan





       freepik.com



Oleh : Ake Aulia
Pernah melihat pohon? Yang kala itu dedaunannya tengah berguguran, terbang bersama bayu dengan tujuan tak menentu. Dedaunan dengan warna hampir senada, antara kuning keemasan hingga kuning kecoklatan. Bersama pusaran bayu, mereka terlihat sedang berkolaborasi menampilkan pertunjukan. Memanjakan indera siapapun yang menyaksikannya. Sungguh menabjubkan bukan?


Terkadang, suasana yang demikian dimanfaatkan oleh manusia kekinian tuk diabadikan dan tak luput pula mereka bagikan. Namun, kan berbeda cerita jika yang berada di bawah naungan pohon adalah segerombol anak usia bangku sekolah dasar. Bisa ditebak, mereka hanya kan bersorak riang antar satu dengan yang lain. Tak memahami apa yang sebenarnya terjadi.



Sungguh, tiada yang mau mengerti bagaimana perasaan dedaunan ranum itu ketika pergi dari sesosok yang membuatnya hadir dan dapat melihat dunia. Begitu pula dengan perasaan sang induk yang tak bisa berbuat apa-apa, karena hanya kakinya yang dapat bekerja. Memeluk tanah sekuat yang ia bisa. Sedang buah, ranting ataupun daun yang menggelayut pada tubuhnya ia pasrahkan pada semesta. Toh ia paham betul, apa yang selama ini menjadi hiasan dalam dirinya adalah titipan semata. Jadi kapanpun diminta oleh-Nya ia harus rela dan menerima. Betapa tegarnya ia, tak sedikitpun menampakkan luka, amarah maupun kesedihan.



Dan saat rapuh dan kehilangan keyakinan seperti saat ini, rasanya ingin sekali kupinjam kekuatan yang dimiliki sang pohon. Atau perlukah aku pergi kepada penyihir tuk meminta ramuan ajaib yang dapat merubah wujudku menyerupainya? Agar perasaan yang beragam nan menggumpal dalam dada ini tak dapat diraba oleh sesiapa. Agar tak ada kecewa, luka, marah, ataupun air mata. Yeah! andai saja bisa.



Mungkin, beginilah jadinya. Ketika kau tlah mengetahui kepada siapa titik muara dari aksara-aksara yang kurangkai. Mungkin, kau tlah mengetahui bahwa dibalik aksara itu tersembunyi sebuah harapan yang tumbuh rimbun sebagaimana dedaunan pada musim semi. Harapan-harapan yang harus kusadari bahwa itu hanyalah sekedar titipan rasa. Dan harus pula kuterima jika kau tak mendambakannya.



Dari sang pohon aku belajar, tentang keikhlasan menerbangkan harapan. Karena itu pula adalah hal yang juga kau inginkan kan? Padaku, tiada harapan dan tak lagi tumbuh harapan?



Maaf telah lancang menulis namamu di antara baris harapan yang kucitakan. Tapi, tenang saja. Setelah ini kan kupangkas hingga penghabisan.



3 komentar:

Pages