canva.com
Hampir
setiap malam, menjelang tidur, Abi selalu bercerita tentang surga. Tentang
taman yang ditumbuhi bunga beraneka warna. Taman yang jauh lebih indah dari
taman-taman indah yang ada di kotaku. Taman yang dihuni peri-peri baik hati.
Bukan
hanya kepadaku saja. Abi juga sering bercerita indahnya surga kepada dua kakak
lelakiku; Azzam dan Azwin.
Tiga anak Abi dan Ummi semuanya laki-laki. Aku yang paling kecil.
Sekian
lama Abi menceritakan surga, ada sebuah pertanyaan yang mengganjal pikiranku.
“Abi,
bagaimana caranya bisa ke surga?”
“Jalan
ke sana sangat jauh dan berliku, sayang.” Ummi menyela, mencoba menjawab
pertanyaanku pada suatu malam, ketika Abi sedang mengumpulkan anak-anaknya.
“Nanti,
jika tiba saatnya, Abi akan mengajakmu, Ummi, dan kakak-kakakmu menuju surga,
anakku.” Pungkas Abi.
***
Abi
baru saja keluar dari sebuah ruangan sempit di rumah kami, yang selama ini
dijadikan ruang salat berjamaah. Ia baru saja menjadi imam Subuh bagi Ummi dan
anak-anaknya.
“Anak-anakku,
kemarilah …”
Ada
yang berbeda dengan suara Abi. Ummi menutup mulutnya dengan ujung kain hijab.
Aku merasa ada yang aneh dengan Abi dan Ummi.
“Anak-anakku,
bersyukurlah. Kita terpilih menjadi pengantin surga. Setelah ini, Abi akan
mengantar kalian menuju jalan yang selama ini kita cari,” lanjut Abi, “Azzam,
tuntun adikmu Azwin.”
“In
Sha Allah, Abi.”
“Zulham,
kau masih belum tahu apa-apa. Nanti kau menurut saja dengan Ummi. Tak lama lagi
Zulham akan bertemu dengan taman yang sering Abi ceritakan. Tentang peri baik
hati yang sangat ingin kautemui, nak.”
Wajah
Abi mendadak terlihat murung. Dari sudut kelopak matanya, butiran-butiran
bening jatuh meleleh.
Sementara,
aku lihat Ummi hanya terisak sambil memeluk Kak Azzam dan Kak Azwin.
***
Abi
menurunkan kami di depan sebuah gereja. Sesaat beliau mengusap rambut, lalu
menciumiku dengan air mata berderaian. Aku semakin tidak mengerti.
Ummi
menggenggam erat tangan kiriku. Di tangannya yang lain, nampak sebuah benda
mirip kotak mainan mini dengan lampu yang sejak kami berangkat dari rumah,
sudah menyala. Aku sedikit berat berjalan. Mungkin penyebabnya adalah mainan
pipa besi sebanyak 5 batang yang dililit-lilit dengan kabel, lalu diikat dengan
rapat di perutku.
Iya,
setelah Ummi menyuapi aku dengan semangkuk bubur ayam, Abi telah memasang
mainan itu tadi pagi di tubuhku.
“Kenapa
Ummi menangis lagi?”
“Ummi
sayang kamu, Zulham. Maafkan Ummi, nak.”
Kurasakan
genggaman tangan Ummi semakin erat.
“Tahanlah,
sayang. Sakit ini hanya sebentar. Setelahnya, kita tak akan lagi merasakan.
Kita akan berkumpul di surga yang Abi ceritakan.”
Bluar!!!
Terdengar
suara ledakan yang asalnya sangat dekat. Begitu kerasnya, hingga telingaku
seperti berdarah. Oh, ternyata aku memang benar-benar berdarah. Bukan hanya
darah, panas yang luar biasa juga terasa sedang membakar sekujur badan.
Hanya
sesaat sakit itu terasa. Perlahan ia berubah menjadi rasa dingin dan nyaman. Pandangan
mataku seperti dipenuhi ribuan kunang-kunang yang turun dari langit pagi Surabaya.
Kunang-kunang beraneka warna. Lalu, pancaran warnanya turun mendekatiku.
Sekejap
kemudian, dari atas mega mega, aku bisa melihat tubuhku sendiri, Ummi yang diam
tak bergerak dengan bersimbah darah, dan orang-orang yang sedang berada di
dalam gereja berlarian menyelamatkan diri.
***
Taman
Kematian.
Aku
tersungkur di sebuah taman yang dipenuhi kembang aneka warna. Entah, ini taman
di kota mana. Aku hapal taman-taman yang ada di kota Surabaya. Hampir setiap
akhir pekan, Abi dan Ummi mengajak anak-anaknya ke Bungkul, Apsari, dan Pelangi.
Aku yakin, ini bukan taman-taman itu.
Kutebar
pandangan ke segala arah mata angin. Semuanya dipenuhi pohon yang kembangnya
sedang bermekaran. Sepertinya aku pernah melihat pohon-pohon itu. Tapi di mana?
Oh
iya, kini aku mengingatnya. Pohon itu sama dengan pohon yang ada di makam nenek
dan kakek. Abi pernah menyebut namanya: kamboja.
Makam? Apakah aku
berada di pemakaman? Apakah kini aku sudah mati?
“Zulham
…,” terdengar suara memanggil namaku. “Zulham, kemarilah, nak.”
Aku
mencari arah suara. Kembali kutebar pandangan ke empat penjuru mata angin. Nihil.
Hingga akhirnya dari balik sebuah pohon kamboja di taman itu, nampak punggung seorang
wanita menggunakan gamis berwarna serba putih. Mirip dengan gamis yang biasa
dipakai Ummi. Ia berdiri membelakangi aku.
“Ummi?”
Wanita
itu membalikkan badan. Oh, ternyata dia bukan Ummiku.
“Akulah
peri yang dijanjikan Abimu, nak.”
“Di
mana Abi, Ummi, dan kakak-kakakku?”
“Tenanglah,
nak. Mereka pasti akan berkumpul denganmu. Tapi nanti, setelah mereka
menyelesaikan perjalanan panjangnya. Perjalanan meniti jembatan penghakiman sebagai manusia yang telah
baligh.”
“Sampai
kapan?”
“Bisa
sebulan, dua bulan, setahun, bahkan mungkin seratus tahun. Kelak kamu akan
mengetahuinya, nak. Sekarang ikutlah denganku.”
Aku
hanya mengangguk. Menurut saja ketika wanita itu merengkuh tubuh mungilku.
Tiba-tiba aku merasa nyaman dalam gendongannya. Tiba-tiba pula aku merindukan
Ummi.
Dan
kini, aku benar-benar tinggal di taman ini. Entah berapa lama. Taman yang
dikatakan wanita itu sebagai taman barzah. Tempat jiwa-jiwa yang tidak tersesat
jalan, menunggu datangnya hari penghakiman.
***
Diangkat dari kisah
kematian anak-anak aktor intelektual pelaku pengeboman empat
gereja di Surabaya.
(Heru Sang Amurwabhumi)
#cerpen #onedayonepost
#cerpen #onedayonepost
Sedih jadinya kalau inget kejadian itu...
BalasHapus😖😖😖
BalasHapussemoga tak ada lagi peristiwa serupa
BalasHapusAamiin..
HapusAamiin.
HapusAnak kecil yang tidak tahu apa-apa, ikut terseret dalam tindak laku orangtua.
BalasHapusSemoga tidak terjadi lagi kejadian yg serupa.
Innalillaah...
BalasHapusKalian emang kerennnnnn...
BalasHapus