CERITA ABI TENTANG JALAN MENUJU SURGA - One Day One Post

Breaking

Senin, 16 Juli 2018

CERITA ABI TENTANG JALAN MENUJU SURGA


canva.com

Hampir setiap malam, menjelang tidur, Abi selalu bercerita tentang surga. Tentang taman yang ditumbuhi bunga beraneka warna. Taman yang jauh lebih indah dari taman-taman indah yang ada di kotaku. Taman yang dihuni peri-peri baik hati.

Bukan hanya kepadaku saja. Abi juga sering bercerita indahnya surga kepada dua kakak lelakiku; Azzam dan Azwin. Tiga anak Abi dan Ummi semuanya laki-laki. Aku yang paling kecil.

Sekian lama Abi menceritakan surga, ada sebuah pertanyaan yang mengganjal pikiranku.

“Abi, bagaimana caranya bisa ke surga?”

“Jalan ke sana sangat jauh dan berliku, sayang.” Ummi menyela, mencoba menjawab pertanyaanku pada suatu malam, ketika Abi sedang mengumpulkan anak-anaknya.

“Nanti, jika tiba saatnya, Abi akan mengajakmu, Ummi, dan kakak-kakakmu menuju surga, anakku.” Pungkas Abi.

***

Abi baru saja keluar dari sebuah ruangan sempit di rumah kami, yang selama ini dijadikan ruang salat berjamaah. Ia baru saja menjadi imam Subuh bagi Ummi dan anak-anaknya.

“Anak-anakku, kemarilah …”

Ada yang berbeda dengan suara Abi. Ummi menutup mulutnya dengan ujung kain hijab. Aku merasa ada yang aneh dengan Abi dan Ummi.

“Anak-anakku, bersyukurlah. Kita terpilih menjadi pengantin surga. Setelah ini, Abi akan mengantar kalian menuju jalan yang selama ini kita cari,” lanjut Abi, “Azzam, tuntun adikmu Azwin.”

In Sha Allah, Abi.”

“Zulham, kau masih belum tahu apa-apa. Nanti kau menurut saja dengan Ummi. Tak lama lagi Zulham akan bertemu dengan taman yang sering Abi ceritakan. Tentang peri baik hati yang sangat ingin kautemui, nak.”

Wajah Abi mendadak terlihat murung. Dari sudut kelopak matanya, butiran-butiran bening jatuh meleleh.

Sementara, aku lihat Ummi hanya terisak sambil memeluk Kak Azzam dan Kak Azwin.

***

Abi menurunkan kami di depan sebuah gereja. Sesaat beliau mengusap rambut, lalu menciumiku dengan air mata berderaian. Aku semakin tidak mengerti.

Ummi menggenggam erat tangan kiriku. Di tangannya yang lain, nampak sebuah benda mirip kotak mainan mini dengan lampu yang sejak kami berangkat dari rumah, sudah menyala. Aku sedikit berat berjalan. Mungkin penyebabnya adalah mainan pipa besi sebanyak 5 batang yang dililit-lilit dengan kabel, lalu diikat dengan rapat di perutku.

Iya, setelah Ummi menyuapi aku dengan semangkuk bubur ayam, Abi telah memasang mainan itu tadi pagi di tubuhku.

“Kenapa Ummi menangis lagi?”

“Ummi sayang kamu, Zulham. Maafkan Ummi, nak.”

Kurasakan genggaman tangan Ummi semakin erat.

“Tahanlah, sayang. Sakit ini hanya sebentar. Setelahnya, kita tak akan lagi merasakan. Kita akan berkumpul di surga yang Abi ceritakan.”

Bluar!!!

Terdengar suara ledakan yang asalnya sangat dekat. Begitu kerasnya, hingga telingaku seperti berdarah. Oh, ternyata aku memang benar-benar berdarah. Bukan hanya darah, panas yang luar biasa juga terasa sedang membakar sekujur badan.

Hanya sesaat sakit itu terasa. Perlahan ia berubah menjadi rasa dingin dan nyaman. Pandangan mataku seperti dipenuhi ribuan kunang-kunang yang turun dari langit pagi Surabaya. Kunang-kunang beraneka warna. Lalu, pancaran warnanya turun mendekatiku.

Sekejap kemudian, dari atas mega mega, aku bisa melihat tubuhku sendiri, Ummi yang diam tak bergerak dengan bersimbah darah, dan orang-orang yang sedang berada di dalam gereja berlarian menyelamatkan diri.

***

Taman Kematian.
Aku tersungkur di sebuah taman yang dipenuhi kembang aneka warna. Entah, ini taman di kota mana. Aku hapal taman-taman yang ada di kota Surabaya. Hampir setiap akhir pekan, Abi dan Ummi mengajak anak-anaknya ke Bungkul, Apsari, dan Pelangi. Aku yakin, ini bukan taman-taman itu.

Kutebar pandangan ke segala arah mata angin. Semuanya dipenuhi pohon yang kembangnya sedang bermekaran. Sepertinya aku pernah melihat pohon-pohon itu. Tapi di mana?

Oh iya, kini aku mengingatnya. Pohon itu sama dengan pohon yang ada di makam nenek dan kakek. Abi pernah menyebut namanya: kamboja.

Makam? Apakah aku berada di pemakaman? Apakah kini aku sudah mati?

“Zulham …,” terdengar suara memanggil namaku. “Zulham, kemarilah, nak.”

Aku mencari arah suara. Kembali kutebar pandangan ke empat penjuru mata angin. Nihil. Hingga akhirnya dari balik sebuah pohon kamboja di taman itu, nampak punggung seorang wanita menggunakan gamis berwarna serba putih. Mirip dengan gamis yang biasa dipakai Ummi. Ia berdiri membelakangi aku.

“Ummi?”

Wanita itu membalikkan badan. Oh, ternyata dia bukan Ummiku.

“Akulah peri yang dijanjikan Abimu, nak.”

“Di mana Abi, Ummi, dan kakak-kakakku?”

“Tenanglah, nak. Mereka pasti akan berkumpul denganmu. Tapi nanti, setelah mereka menyelesaikan perjalanan panjangnya. Perjalanan meniti jembatan penghakiman sebagai manusia yang telah baligh.”

“Sampai kapan?”

“Bisa sebulan, dua bulan, setahun, bahkan mungkin seratus tahun. Kelak kamu akan mengetahuinya, nak. Sekarang ikutlah denganku.”

Aku hanya mengangguk. Menurut saja ketika wanita itu merengkuh tubuh mungilku. Tiba-tiba aku merasa nyaman dalam gendongannya. Tiba-tiba pula aku merindukan Ummi.

Dan kini, aku benar-benar tinggal di taman ini. Entah berapa lama. Taman yang dikatakan wanita itu sebagai taman barzah. Tempat jiwa-jiwa yang tidak tersesat jalan, menunggu datangnya hari penghakiman.

***

Diangkat dari kisah kematian anak-anak aktor intelektual pelaku pengeboman empat gereja di Surabaya.

(Heru Sang Amurwabhumi)


#cerpen #onedayonepost

8 komentar:

Pages