DOL(L)ANAN - One Day One Post

Breaking

Selasa, 28 Agustus 2018

DOL(L)ANAN


Sumber gambar : Google.com
            Apapun yang terjadi, aku akan tetap melindungi Anan. Biar ditinggalkan Ayah maupun dibenci Bunda, aku akan selalu ada di sisinya, mendengar seluruh keluh kesah dari mulutnya. Aku sudah dianggapnya sebagai adik kandungnya sendiri. Begitu pula aku yang selalu menyanyanginya selayaknya yang dilakukan gadis itu kepadaku.
            Dulu, Ayah membawaku ke rumahnya untuk pertama kali. Di tempat dan waktu itulah aku bertemu dengan Aman, gadis mungil berumur lima tahun yang dikepang dua rambutnya. "Anan Sayang, kenalin, ini teman baru kamu. Namanya Edi." Ayah senang sekali bisa memperkenalkan kami. Reaksi Anan juga baik menyambut kunjungan. Ia langsung memelukku dengan hangat. "Hai Edi, namaku Anan. Ayo kita main bareng yuk!"
            Sejak pertemuan indah itu, hubungan Bunda dan Ayah semakin kendor. Entah apa masalahnya, yang pasti Bunda selalu enggan menatapku. Aku dan Anan tidak paham masalah orang dewasa yang cukup rumit untuk membuat rambut keriting. Tapi yang pasti, sepertinya bunda membenciku. Hingga pada puncaknya ketika Ayah dan Bunda bercerai. Aku berada di sana melihat kejadian itu. Ayah marah-marah. Bunda juga. Sedangkan Anan menangis di kamarnya mendengar seluruh percakapan di luar. Ayah berjanji tidak akan kembali lagi ke rumah ini, jadilah Anan sekarang tinggal dengan bunda seorang.
            Anan sangat terpukul dengan kejadian tersebut. Di usianya yang baru menginjak enam tahun, ia sudah menjadi anak yang broken home. Teman-teman di sekolahnya satu per satu mengetahui hal tersebut. Jadilah, ia diejek sejadi-jadinya. Lalu, saat pulang ia melampiaskan kekesalannya kepadaku. Satu per satu nama mereka kuhafalkan dengan tujuan suatu hari kubalas perbuatan mereka yang menyakiti Ananku Sayang.
            Belum puas di sekolah, nasib buruk juga menimpa Anan di mana pun ia berada. Pernah suatu kali aku diajaknya dengan sepeda pink roda empatnya untuk bermain bersama teman-temannya yang ada di dekat rumahnya. "Pergi sana! Kamu gak boleh main bareng kita. Kita semua punya ayah dan ibu, sedangkan kamu cuma ada ibu," usir salah satu anak laki-laki seusia Anan yang memprovokasi temannya yang lain. Anan bersikeras ingin bermain dengan mereka. Tapi hasilnya nihil. Salah seorang dari mereka mengambil kerikil tak jauh darinya, lalu melemparkannya padaku dan Anan, kemudian diikuti anak yang lain. Anan melindungi wajahnya dengan tangan yang sudah berlumuran darah dan tanah dari kerikil tersebut. Ia menangis. Wanita setengah baya datang menghampiri, menghentikan kekerasan yang terjadi pada Anan. Bukan, lebih tepatnya mengajak anaknya—salah satu dari anak yang melempari batu—pulang ke rumah. "Sudah mama bilang, jangan pernah main sama anak itu lagi! Ayo pulang! Yang lain juga pulang!" kata wanita tersebut.
            Anan pulang ke rumah dengan tangis tersedu-sedu. Ia menggandengku masuk ke rumah. Tampak waspada, Anan tak seperti biasa, ia seperti bersembunyi. "Anan, kamu kenapa lagi?" Suara itu muncul dari arah belakang Anan. Anan benar-benar terkejut walau hanya mendengar suaranya. Ia sedang bersembunyi dari Bunda. Bunda menghampiri lalu berkata, "Anan Sayang, kenapa tanganmu kotor dan berdarah begini. Apa yang terjadi?" Anan hanya diam seribu bahasa, matanya memandang ukiran di lantai. Ia tidak ingin Bunda jadi kerepotan gara-gara masalah sepele ini. Tatapan bunda langsung mengarah kepadaku. "Kenapa kamu bawa Edi ke sini!? Dia itu pembawa sial, Sayang. Ayahmu itu ikut aliran sesat. Cepat usir dia dari sini!" Sikap lembut bunda tadi berubah jadi api amarah yang baru saja tersulut. Anan tambah ketakutan, ia menggenggam tanganku lebih erat lagi. Bunda masih bersikeras membuangku, tapi Anan masih menolak. Apa Bunda tidak pernah menganggapku seperti anak sendiri, seperti adik Anan? Anan pergi meninggalkan bunda menuju kamarnya, lalu menguncinya. Bunda berusaha meyakinkan Anan dari balik pintu, namun gagal. Anan menangis lagi.
            "Edi, kenapa semua orang benci pada kita? Anan cuma ingin kita main bareng-bareng. Sekarang, cuma Edi yang bisa main bareng Anan," curhat Anan padaku.
            Aku diam, hampir menangis, sekaligus marah besar. Dengan keras aku berusaha menghafalkan nama-nama orang yang telah menyakiti Anan.
            Aku ingin sekali bilang, "Anan, Edi ada di sini, setia bersama Anan. Edi nggak akan nyakitin Anan seperti yang mereka lakukan. Edi janji akan membalasnya." Tapi, aku hanya bisa diam.
            Anan tidur pulas sekali. Matanya bengkak sebab terlalu sering menangis. Diam-diam aku merencanakan sesuatu untuknya, sebuah kejutan besar. Semua sudah siap, ada pisau dan juga Bunda yang tadi marah besar, kini hanya diam membiru. Hanya saja, tubuhku berlumuran cairan merah yang keluar dari dadanya. Aku tidak bisa membuat kejutan dengan keadaan merah seperti ini. Aku 'kan beruang Teddy kesukaan Anan. Aku masih berusaha keras meningat nama-nama  yang pernah menyakiti Ananku Sayang.

Oleh : Ilham Rahmanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages