Sumber gambar : Google.com
Apapun yang terjadi, aku
akan tetap melindungi Anan. Biar ditinggalkan Ayah maupun dibenci Bunda, aku
akan selalu ada di sisinya, mendengar seluruh keluh kesah dari mulutnya. Aku sudah dianggapnya sebagai adik kandungnya
sendiri. Begitu pula aku yang selalu menyanyanginya selayaknya yang dilakukan
gadis itu kepadaku.
Dulu, Ayah membawaku ke rumahnya untuk pertama kali. Di tempat dan waktu
itulah aku bertemu dengan Aman, gadis mungil berumur lima tahun yang dikepang
dua rambutnya. "Anan Sayang, kenalin, ini teman baru kamu. Namanya
Edi." Ayah senang sekali bisa memperkenalkan kami. Reaksi Anan juga baik
menyambut kunjungan. Ia langsung memelukku dengan hangat. "Hai Edi, namaku
Anan. Ayo kita main bareng yuk!"
Sejak pertemuan indah itu, hubungan Bunda dan Ayah semakin kendor. Entah apa masalahnya, yang pasti Bunda selalu enggan menatapku. Aku dan Anan
tidak paham masalah orang dewasa yang cukup rumit untuk membuat rambut
keriting. Tapi yang pasti, sepertinya bunda membenciku. Hingga pada puncaknya ketika
Ayah dan Bunda bercerai. Aku berada di sana melihat kejadian itu. Ayah
marah-marah. Bunda juga. Sedangkan Anan menangis di kamarnya mendengar seluruh
percakapan di luar. Ayah berjanji tidak akan kembali lagi ke rumah ini, jadilah
Anan sekarang tinggal dengan bunda seorang.
Anan sangat terpukul dengan kejadian tersebut.
Di usianya yang baru menginjak enam tahun, ia sudah menjadi anak yang broken home. Teman-teman di sekolahnya
satu per satu mengetahui hal tersebut. Jadilah, ia diejek sejadi-jadinya. Lalu,
saat pulang ia melampiaskan kekesalannya kepadaku. Satu per satu nama mereka kuhafalkan
dengan tujuan suatu hari kubalas perbuatan mereka yang menyakiti Ananku Sayang.
Belum puas di sekolah, nasib buruk juga
menimpa Anan di mana pun ia berada. Pernah suatu kali aku diajaknya dengan
sepeda pink roda empatnya untuk bermain bersama teman-temannya yang ada
di dekat rumahnya. "Pergi sana! Kamu gak boleh main bareng kita. Kita
semua punya ayah dan ibu, sedangkan kamu cuma ada ibu," usir salah satu
anak laki-laki seusia Anan yang memprovokasi temannya yang lain. Anan
bersikeras ingin bermain dengan mereka. Tapi hasilnya nihil. Salah seorang dari
mereka mengambil kerikil tak jauh darinya, lalu melemparkannya padaku dan Anan,
kemudian diikuti anak yang lain. Anan melindungi wajahnya dengan tangan yang
sudah berlumuran darah dan tanah dari kerikil tersebut. Ia menangis. Wanita
setengah baya datang menghampiri, menghentikan kekerasan yang terjadi pada
Anan. Bukan, lebih tepatnya mengajak anaknya—salah satu dari anak yang
melempari batu—pulang ke rumah. "Sudah mama bilang, jangan pernah main
sama anak itu lagi! Ayo pulang! Yang lain juga pulang!" kata wanita
tersebut.
Anan pulang ke rumah dengan tangis
tersedu-sedu. Ia menggandengku masuk ke rumah. Tampak waspada, Anan tak seperti biasa, ia seperti
bersembunyi. "Anan, kamu kenapa lagi?" Suara itu muncul dari arah
belakang Anan. Anan benar-benar terkejut walau hanya mendengar suaranya. Ia
sedang bersembunyi dari Bunda. Bunda menghampiri lalu berkata, "Anan Sayang, kenapa
tanganmu kotor dan berdarah begini. Apa yang terjadi?" Anan hanya diam
seribu bahasa, matanya memandang ukiran di lantai. Ia tidak ingin Bunda jadi kerepotan gara-gara masalah sepele
ini. Tatapan bunda langsung mengarah kepadaku. "Kenapa kamu bawa Edi ke
sini!? Dia itu pembawa sial, Sayang. Ayahmu itu ikut aliran sesat. Cepat usir
dia dari sini!" Sikap lembut bunda tadi berubah jadi api amarah yang baru
saja tersulut. Anan tambah ketakutan, ia menggenggam tanganku lebih erat lagi.
Bunda masih bersikeras membuangku, tapi Anan masih menolak. Apa Bunda tidak pernah menganggapku seperti anak
sendiri, seperti adik Anan? Anan pergi meninggalkan bunda menuju kamarnya, lalu
menguncinya. Bunda berusaha meyakinkan Anan dari balik pintu, namun gagal. Anan
menangis lagi.
"Edi, kenapa semua orang benci pada kita?
Anan cuma ingin kita main bareng-bareng. Sekarang, cuma Edi yang bisa main
bareng Anan," curhat Anan padaku.
Aku diam, hampir menangis, sekaligus marah
besar. Dengan keras aku berusaha menghafalkan nama-nama orang yang telah
menyakiti Anan.
Aku ingin sekali bilang, "Anan, Edi ada
di sini, setia bersama Anan. Edi nggak akan nyakitin Anan seperti yang mereka
lakukan. Edi janji akan membalasnya." Tapi, aku hanya bisa diam.
Anan tidur pulas sekali. Matanya bengkak sebab
terlalu sering menangis. Diam-diam aku merencanakan sesuatu untuknya, sebuah
kejutan besar. Semua sudah siap, ada pisau dan juga Bunda yang tadi marah
besar, kini hanya diam membiru. Hanya saja, tubuhku berlumuran cairan merah
yang keluar dari dadanya. Aku tidak bisa membuat kejutan dengan keadaan merah
seperti ini. Aku 'kan beruang Teddy kesukaan Anan. Aku masih berusaha keras
meningat nama-nama yang pernah menyakiti
Ananku Sayang.
Oleh : Ilham Rahmanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar