Kasih Sepanjang Hayat - One Day One Post

Breaking

Rabu, 17 Oktober 2018

Kasih Sepanjang Hayat


Sumber gambar : google.com

Jarum jam menunjukan pukul dua siang, terduduk dua orang perempuan saling berhadapan hanya terpisah dua buah meja bersisian yang disandingkan menjadi satu. Dua gelas berukran besar berisi es teh manis mulai mengembun, bagian bawahnya membasahi meja kaca yang memisahkan mereka, tepatnya di sebelah kanan. Tatapan kedua perempuan itu sama-sama kosong, nampaknya mereka hanya duduk bersama saling berhadapan saja tanpa bicara. Entah apa yang ada di pikiran dua perempuan yang terlihat seperti berusia dua puluh tahunan itu. Dua manik mata dari kedua perempuan itu mulai bergerak, tanda mereka tersadar, rupanya kedatangan dua lelaki yang langsung terduduk di dua kursi kosong yang berada di samping masing-masing kedua perempuan itulah yang mengusiknya.

“Sudah dapat kabar dari ibu?” tanya si lelaki berkemeja hijau yang duduk di samping kiri si perempuan berkerudung merah. Nada suaranya terdengar sangat khawatir. Peluh mengucur dari dahinya.

Kedua perempuan itu menggeleng lemah, raut wajahnya nampak bingung bercampur rasa bersalah.

“Kemana ibu pergi? Apakah sudah kamu cari sampai ke rumah tante Laila, Nis?” Kini giliran si lelaki berkaus biru tua dengan kerah abu-abu yang bertanya.

“Sudah Bang, saya sudah cari kesana, tapi ibu tidak ada, tante Laila sendiri tidak tahu ibu di mana.” Perempuan yang dipanggil Nis itu terdengar putus asa, manik matanya mulai berkaca-kaca, dan jatuhlah bulir-bulir hangat di pipinya yang ranum, kemudian disekanya dengan kerudung ungunya.

Dua perempuan dan dua lelaki itu kemudian terdiam semua, dengan raut wajah yang serupa, bingung.

“Ini semua salah Ambar, kalau saja Ambar tak bilang ingin ke Maroko, ibu pasti tak akan  menghilang seperti ini!” tandas perempuan berkerudung merah tiba-tiba, ada getir dalam suaranya.
“Iya, Kak As memang benar ini semua salahku” jawab lelaki berkemeja hijau tertunduk lemah.

“Bukan, ini bukan salah Ambar, ini salahnya Nis. Kalau saja Nis bisa bersabar untuk menemani ibu, dan mengambil cuti lebih panjang, mungkin ibu tak akan pergi tanpa kabar begini. Nis terlalu serakah menginginkan promosi kenaikan jabatan di kantor.sesalnya.

“Kalau begitu aku juga salah, jika saja aku menerima lamaran Sutejo dan bukannya melarikan diri bekerja keluar kota, maka aku bisa mengurusi ibu di sini.” Isak tangis mulai terdengar dari si perempuan berkerudung merah, diiringi tatapan sedih dari lelaki berkemeja hijau yang sesaat disalahkan olehnya.

“Tidak! tak satu pun dari kalian yang bersalah. Ini semua karena kelalaian Bang Syam sebagai kakak tertua. Abang telah gagal menunaikan kewajiban sebagai anak tertua. Maafkan Abang.” Lelaki berkaus biru tua dan berkerah abu-abu itu terdengar tulus mengucapkan itu semua.

Mereka semua terdiam lagi, larut dalam penyesalan sendiri-sendiri, hingga buliran air mata membasahi pipi-pipinya. Untung saja kondisi kedai teh tempat mereka berkumpul saat ini dalam keadaan sepi, jika tidak mungkin mereka akan menjadi bahan tontonan pengunjung yang lain.

“Aku ini anak macam apa? Bercita-cita mendapat gelar Lc, tapi malah membuat ibunya sendiri melarikan diri.” Lelaki dengan kemeja hijau mulai memegangi kepanya dengan kedua belah tangan.

“Bukan salahmu Ambar, maafkan Kak As karena menyalahkanmu, padahal ini salahku yang tak mau menikah.”

“Bukan salahmu yang tak mau menikah As, lagipula pernikahan yang dipaksakan akan membuatmu sengsara, Nis yang salah terlalu mengejar karir. Tak berkaca pada pengalaman, pernikahan Nis pun kandas salah satunya karena hal yang sama. Bodohnya aku ini!”

“Berhentilah menyalahkan diri kalian sendiri. Salahkan Abang saja, sudah tua begini masih saja betah melajang, dan sibuk bekerja, melarutkan diri dari rasa patah hati dikhianati si Nuri. Meninggalkan ibu yang menjadi kewajiban diri, harusnya sekarang ibu sudah senang sambil menimang cucu.” Sesal lelaki bernama Syam itu bertambah dalam.

Mereka terdiam lagi, kembali menyesali diri, bahkan suara isakan terdengar menjadi-jadi.
“Apa hal ini?” sebuah suara menghentikan sesal dan isak mereka. Semua mata langsung tertuju pada suara itu.

“Ibu!” Seru mereka bersamaan.

Perempuan tua yang mereka panggil ibu dengan serentak itu berdiri sambil menenteng sebuah tas kain berukuran sedang dengan motif bunga lili berwarna kuning terang. Perempuan bernama As dan Nis lalu segera bangkit dan memeluk ibu mereka yang telah lanjut usia. Baju kurung berwarna hijau tosca dipadu kerudung segi empat berwarna putih dengan hiasan bunga-bunga kecil yang menyebar, kini kusut akibat pelukan kedua anak perempuannya.

“Sudah…sudah…” Sang Ibu melepaskan pelukannya, lelaki dengan kemeja hijau segera bangkit dan membantu ibunya duduk di kursi miliknya.

“Bu, Ambar tak akan berangkat ke Maroko, Ambar di sini saja bersama Ibu.” Sambil memegang kedua tangan ibunya yang keriput.

“As juga Bu, As akan keluar kerja dan menerima kembali lamaran Sutejo dan tinggal bersama Ibu.” Matanya menyiratkan keyakinan.

“Nis, akan ambil cuti lebih banyak agar bisa menemani Ibu lebih lama lagi.”

“Bu, Syam akan menuruti semua permintaan Ibu, apa saja, Syam berjanji  Bu.” Suara Syam terdengar tanpa keragu-raguan.

Sang ibu terdiam melihat keempat anaknya dengan tatapan penuh kasih. Dua anak lelaki dan dua anak perempuannya sudah dewasa, selama ini dirinya masih saja menganggap keempat anaknya itu masihlah anak-anak berusia empat, enam, sepuluh, dan empat belas tahun. Rupa-rupanya waktu berlalu begitu cepatnya.

Sesaat sang ibu pun tersenyum sambil menghela napas panjang. Pertama-tama diarahkannya pandangan kepada putra bungsunya.
“Ambar, mengapa kau mengurungkan niatmu pergi ke Maroko?” tanya Ibu dengan nada santai.

“Ambar mau mengajar saja di pesantren dekat rumah sambil menjaga ibu.” Jawab Ambar menatap ibunya tanpa tersirat keraguan sedikit pun.

“Hmmm, mengapa pula harus kau urungkan niatmu itu, padahal Ibu berharap kau dapatkan gelar Lc itu, macam ustaz-ustaz yang orang-orang muda cakap viral itu di social media. Siapa tahu nanti kau pun ikut viral, amalan jariyahmu banyak, bahagialah akhirat ibumu ini nanti. Sudah tak perlu bingung dan gundah lagi, kau berangkatlah ke Maroko, Ibu merestuimu. Janganlah membantah. Tak maukah kau, akhirat Ibumu ini bahagia?”

Ambar hanya bisa berkaca-kaca dan mengangguk, lalu diciumnya dua tangan ibunya dengan takzim sembari berjongkok, sang ibu membelai kepalanya dengan lembut lalu menyuruhnya kembali berdiri disampingnya. Ketiga anaknya yang lain tersenyum turut bahagia, hingga pandangan sang ibu mengarah pada perempuan dengan kerudung merah.

“As, tak perlu lagi kau sebut bahkan kau ingat nama Sutejo lagi. Beruntung waktu lalu kau melarikan diri saat dia datang melamar, kalau tidak, Ibu akan menyesal seumur hidup telah menikahkanmu pada lelaki yang sudah punya istri empat masih saja mengaku bujangan. Sungguh celaka kalau kau jadi menikah dengannya. Kini jalani saja pekerjaanmu dengan baik di kota itu, nikmati saja dulu. Kalau kau dapat gaji, belikan Ibu baju kurung yang bagus macam artis ibu kota, sesekali Ibu mau menggoda Mak Silau kalau ada yang bisa lebih silau bajunya dari dia, hahahaha.” Raut wajah ibu nampak lucu dan bahagia, suara tawanya terdengar renyah dan menggelikan.

Semua anaknya bersyukur dan turut tertawa geli, membayangkan As saudaranya akan jadi istri kelima, As pun hanya bisa bergidig lalu tersenyum lega.
“Nah, kau Nis, kejarlah promosi tahun ini, agar tahun depan kau bisa mempromosikan diri sebagai calon istri bukan calon direktur lagi. Lebih jeli dalam memilih suami, jangan kau jadikan orang pengangguran sebagai imam dalam rumah tangga. Jangan hanya mengandalkan cinta buta. Jika kau ingin pernikahanmu tak gagal lagi carilah imam yang sholeh, yang mengerti kewajibannya, bukan yang hanya mau menumpang hidup padamu, dan kau menyanggupinya saja karena kau anggap mampu. Sekecil apapun penghasilannya tapi ada keringat yang ia keluarkan untuk memenuhi kewajibannya. Ibu tahu bagaimana kau ini Nis, kau mampu menghasilkan uang dengan baik, tapi mantan suamimu dulu memanfaatkan itu dan malah menikammu dari belakang, bermain judi. Tapi tak perlu jera juga untuk menikah lagi, kau masih muda dan cantik, mapan pula, berbudi pekerti baik, insyaAllah, masih ada lelaki baik macam almarhum bapak kalian. Tak perlu risaukan Ibu, bila kau naik jabatan dengan cara yang jujur, Ibu pula yang bangga.” Tutur ibu pada Nis panjang lebar

Nis tersenyum dengan linangan air mata, pancaran rasa syukur tercermin nyata dalam raut wajahnya.

“Terima kasih Bu, Nis akan patuhi nasehat Ibu, Nis akan berusaha sebaik mungkin.”
Pernyataan Nis diacungi dua jempol oleh ibu sambil tersenyum bangga. Saudara-saudaranya yang lain pun turut mengacungkan jempol mereka pertanda mendukung nasehat ibu.

“Tibalah giliran kau Syam!” , nada suara ibu berubah menjadi tegas tak sesantai pada adik-adik Syam sebelumnya. Suasana yang tadinya santai dan cair berubah menjadi tegang. Semua pandangan tertuju pada Syam. Ia hanya menatap ibu sebentar dengan canggung lalu memilih menunduk sambil mengkaitkan jari jemarinya.

“Syam, sudah sepuluh tahun berlalu. Ibu membiarkanmu untuk mengobati luka hatimu, karena ibu tahu persis bagaimana rasanya dikhianati, apalagi cinta ini kau bilang cinta pertama, kau sudah cinta mati padanya, kau suka padanya sejak remaja tapi apa daya kalau bukan jodoh, tak bersua juga kau dengannya di pelaminan. Tapi kau ini lelaki, belajarlah kuat dari Ibumu ini, ibu tiga kali gagal menikah dengan alasan yang beragam. Dari mulai dipisah maut saat akan akad, dikhianati seminggu sebelum pernikahan, hingga ditipu sebulan sebelum pinangan. Tapi, semua kejadian itu tak membuat Ibu patah arang, kalau patah arang, tak akan Ibu jumpa dengan bapak kalian, tak akan ada pula kalian sekarang ini, jadi….” Ibu menggantung kalimatnya.
“Jadi…?” Syam menantikan kelanjutan kalimat ibu.

“Jadi sesuai janjimu tadi kau akan penuhi apapun yang Ibu minta, maka minggu depan kita akan datang ke pondok putri milik Kyai Mahmoed Sabar, beliau sedang cari menantu untuk putri bungsunya yang terkenal baik budi pekertinya, siapa tahu kau beruntung dan berjodoh dengannya, Kyai Mahmoed Sabar itu salah satu kawan karib dari kawan karib bapak semasa di pesantren dulu. Jadi kali ini tak ada alasan lagi untuk… apa namanya kalau kata anak jaman sekarang? Gulau?”

“Galau Bu.”  Ucap As.

“Nah Galau itu, buang jauh-jauh dari pikiranmu, seminggu dari sekarang kita akan pergi melamar, siap Syam?” tanya Ibu sambil memandang Syam dengan tegas.

Syam yang sedari tadi menunduk mulai menengadahkan wajahnya, dipandangi wajah ibu yang tegas menuntut jawab.
“Syam akan pegang janji Syam Bu, minggu  depan kita berangkat melamar.” Jawab Syam sambil tersenyum.

“Alhamdulillah! Terbayang sudah sekarang Ibu menimang cucu!” seru ibu disusul tawa ketiga saudara Syam. Mereka tergelak bahagia, perasaan lega menghambur dari dada-dada mereka.

“Bu, sebenarnya Ibu pergi kemana sejak kemarin? tak mengabari kami pun tante Laila, takut dan khawatir benar kami ini.” Tanya Syam setelah semua tawa reda.

“Ibu ini pergi menengok teman lama di kota sebelah, teman minum kopi dulu.”

“Jadi ibu minum kopi lagi?” selidik Nis.

“Tenang saja Ibu tak minum kopi manis, tapi kopi pahit.” Jawab ibu sambil terkekeh. Semua anaknya menggelengkan kepala.

“Jangan lagi-lagi ya Bu. Kopi kan tak baik untuk kesehatan Ibu, ingat larangan dokter.” Pinta Ambar. Ibu hanya mengangguk dengan raut wajah yang jenaka, membuat ke-empat anaknya kembali tersenyum geli.

“Ayo kita pulang, ashar sudah berlalu satu jam, supir tante Laila sudah matang nunggu di parkiran!” seru ibu sambil beranjak berdiri dibantu Syam. Mereka semua berlalu meninggalkan meja dan kursi itu yang kini hanya ditemani dua gelas besar es teh manis yang sudah tidak ada es di dalamnya.

Selesai.


Oleh : Bunda Nabhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages